By Andieta Octaria
***
Di hadapannya, terdapat informasi mengenai pembunuhan yang terjadi di rumah ini. Pembantu Sonia, yang meminjam uang lantas mengamuk ketika orang tua Sonia menagih uang tersebut. Ia langsung menghabisi bapak Sonia dengan pisau dapur. Tusukan-tusukan di tubuh bapak Sonia menciptakan cipratan darah di sekitar kamar pembantu, di bagian rumah. Karena takut aksinya diketahui, ia lantas membunuh ibu Sonia yang sedang berada di dalam rumah menggunakan pisau dapur yang sama.
Di sepanjang jalan menuju kedalam rumah terdapat tetesan darah dari pisau yang ia gunakan. Setelah membunuh ibu Sonia, saat akan melarikan diri, kakak dan adik Sonia pulang dari sekolah. Dengan panik, ia menikam mereka berdua tanpa ampun sebelum melarikan diri. Pembunuhan ini baru diketahui sehari kemudian, saat Sonia pulang dari perkemahan.
Tak berapa lama polisi menemukan Arina, lalu pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Eric bergidik. Ia mulai merasa bahwa ide Sonia untuk menginap di rumah ini bukanlah ide yang bagus. Lagipula sejak awal kedatangannya ke rumah ini, ia merasa ada yang memperhatikannya.
Jangan konyol! Eric memaki dalam hati. Bukan saatnya untuk takut atau berfikiran macam-macam. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia tidak butuh takut, ia butuh istirahat.
Eric hampir tertidur ketika ia mendengar suara ketukan pelan di jendelanya. Mungkin suara angin. Hal tersebut biasa terjadi di rumah tua. Ia meneruskan tidurnya. Namun suara itu terdengar lagi.
Kali ini lebih jelas.
Eric bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju jendela. Ia menyibak gorden, lalu menatap keluar. Tidak ada apapun diluar. Eric memicingkan matanya. Kondisi di luar terlalu gelap. Ia tak bisa melihat apapun. Ia kembali menutup gorden, lalu kembali berusaha tidur.
Sleep� let sleep tonight�
and have a good dream�
don�t let mosquito bite, don�t let nightmare to come�
sleep�
or I will come to you�
Eric terbangun terengah-engah. Bajunya basah oleh keringat. Ia dapat mendengar lagu itu tepat di telinganya.
Lagu itu terlalu nyata. Lagu yang membuat Sonia murung dan akhirnya membuatnya berada di tempat ini.
Namun ia yakin itu bukan mimpi. Ia segera bangkit dari tempat tidur. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah. Eric cepat-cepat bergegas ke kamar Sonia, lalu mengetuk pintu. tak ada jawaban. Perasaannya semakin tak menentu. Ia mengetuk kembali, kali ini lebih keras. Masih tak ada jawab.
Eric cepat-cepat membuka pintu kamar, namun kamar itu telah kosong.
Ia segera berlari keluar, tanpa ia sadari, cermin meja rias memantulkan bayangan seorang wanita yang menatapnya tajam.
Eric memutari bagian dalam rumah, mengecek kamar dan kamar mandi, namun nihil, Sonia tak ada di manapun. Eric buru-buru menyalakan senter dari handphonenya, lalu menyusuri bagian luar rumah. Bagian luar rumah gelap gulita. Lampu teras tidak menyala, sementara jarak rumah ini dengan rumah tetangga tidak terlalu dekat. Eric mengarahkan senter handphone-nya ke sekitar rumah. ia melihat pintu yang dicat putih di bagian belakang rumah.
Sonia belum menunjukkan ruangan ini sebelumnya. Ia berjalan perlahan, tiba-tiba, perhatiannya teralihkan. Sebuah handphone tergeletak tak jauh di depan pintu. handphone milik Sonia. Jantung Eric berdebar kencang. Apa yang terjadi dengan Sonia? Ia buru-buru memasukkan telepon genggam Sonia ke dalam saku celananya, lalu mencoba membuka pintu. Tidak terkunci. Ia mendorong pintu perlahan-lahan.
Eric menatap ke dalam. Sebuah kamar; lebih kecil dibandingkan dua kamar di dalam rumah, hanya muat diisi sebuah tempat tidur kecil. Lampu di ruangan ini menyala, dan kasurnya tampak berantakan, seakan seseorang baru saja tidur di atasnya. Persis di tengah tempat tidur, Sonia duduk tegak, kepalanya menunduk.
�Sonia��
�Kamu seharusnya tidak ke tempat ini!� Sonia menggeram. Eric terkejut. Ia terlonjak hingga handphone-nya terjatuh. Ia tak mengenali suara itu, berat dan serak. Suara itu bernada mengancam.
�Sonia� mari pulang�� Eric perlahan berjalan mendekat, lalu dengan lembut menggandeng lengan Sonia. Sonia mendongak, lalu menatap Eric. Seketika, Eric berteriak.
Sonia membelalak, bola matanya seakan terbalik, menatap ke dalam, membuat kedua matanya terlihat putih tanpa pupil. Bibirnya mengeluarkan suara geraman, membuat urat di lehernya menonjol. Eric segera melepaskan pegangan tangannya dari Sonia, lalu berjalan mundur perlahan.
�KALIAN TIDAK SEHARUSNYA KE TEMPAT INI!�
Bersamaan dengan suara geraman Sonia, tiba-tiba lampu mati, menjadikan malam semakin pekat. Jantung Eric berdegup cepat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya tak dapat menatap apapun. Nafasnya tercekat.
�AAAAAAAAAAAAAAAAARGHHH!�
Tiba-tiba ia mendengar suara Sonia berteriak keras, menggema di kamar kecil tersebut, lalu badannya terjatuh. Sonia berlari menerjangnya, lalu menghilang d ikegelapan malam. Dalam kegelapan, Eric merangkak mundur, tangannya meraba-raba mencari handphone-nya yang terjatuh. Sia-sia.
Tiba-tiba, ia teringat handphone Sonia yang berada di dalam sakunya. Cepat-cepat, ia mengeluarkan handphone Sonia, lalu mencari aplikasi senter. Namun percuma, ia tidak terbiasa menggunakan handphone Sonia, ia tak tahu dimana letak aplikasi. Ia kembali memutar otak. Video! Ia tahu hp Sonia dapat mengeluarkan lampu flash saat merekam video.
Eric buru-buru menyalakan kamera hp Sonia, memasang flash handphone, lalu mulai merekam, membuat lampu flash terus menyala. Ia bangkit lalu tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di jendela. Eric mengarahkan HP Sonia ke arah suara, menerangi jendela tersebut. Namun tidak ada apa-apa. Tanpa sengaja, ia menatap layar HP Sonia. Seketika, tubuhnya membeku.
Di layar handphone Sonia, terekam seorang anak yang mengetuk jendela kamar. Ia menyadari kamar tersebut merupakan kamar tempatnya menginap.
Ia kembali menatap jendela. tak ada apa-apa. Anak tersebut hanya terlihat melalui kamera.
Tetapi bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Dalam kegelapan, ia dapat melihat anak tersebut dengan jelas. Anak tersebut sepucat kabut. Namun dari lehernya ia dapat melihat dengan jelas luka menganga yang mengalirkan darah kental ke seluruh tubuhnya.
Anak tersebut hanya menatapnya dalam diam, namun tangannya tak berhenti mengetuk jendela dengan ritme yang sama,
Tok tok tok tok
Eric terpaku. Namun ia berpikir cepat. Sonia! Ia harus menemukan gadis itu secepatnya! Ia segera berlari tanpa menoleh lagi ke jendela.
Eric berlari menyusuri bagian luar rumah sambil mengarahkan lampu flash HP Sonia ke bawah. Ia tercekat. Sepanjang jalan, ia melihat tetesan darah tertangkap kamera handphone Sonia. Namun tak ada darah sama sekali bila dilihat dengan mata telanjang.
Ia menemukan pintu rumah terbuka lebar. Pasti Sonia berada di dalam! Ia merasa sedang diperhatikan, namun entah oleh apa. Eric menyorotkan sinar flash ke dalam rumah. Seketika, ia terpaku. Ia menatap pada dinding yang putih bersih. Apa yang tertangkap di kamera menunjukkan hal yang berbeda. layar handphone Sonia menunjukkan dinding yang dipenuhi bercak darah memanjang hingga ke kamar utama.
Bulu kuduknya meremang. Ia berlari mengikuti jejak darah hingga ke kamar utama. Eric tak pernah menyangka apa yang dilihatnya di kamar utama.
TO BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar