Senin, 30 Juni 2014

Changing of the guard

Here comes more about our adventures at the kings palace.

We had the chance to attend the changing of the guard!

The guards wear colourful traditional uniforms...
...and they carry colourful flags.

A lot of tourists come to watch this spectacle.

Minggu, 29 Juni 2014

Gyeongdokung palace

Today we visited Gyeongdokung palace, an ancient kings palace.


Here we are in front of the main building.

But there are many buildings with patios in between.
Those were the private rooms of an ancient king from the Joeon dynasty.



Here we had a little break on a statue at the parade ground.

Sabtu, 28 Juni 2014

RESORT PART 11

 

�Shoji!�

Kami bertiga terpaku.

Kemudian kami mendengarnya kembali. Suara itu berasal tepat dari luar kuil.

�Shoji!�

Kami sadar benar suara siapa itu.

Suara itu sudah tak asing lagi bagi kami.

Itu suara Misaki.

�Shoji, aku membawakanmu onigiri.�

Walaupun suara itu jelas milik Misaki, namun sama sekali tidak ada intonasi dalam suara itu. Hanya suara yang datar, seolah-olah diucapkan oleh boneka.

�Shoji!�

Aku merasakan genggaman tangan Shoji semakin erat. Tentu saja ia tak menjawabnya dan suara itu terus berlanjut.

�Shoji.�

�Selamat datang!�

�Aku membawakanmu onigiri.�

�Shoji.�

�Selamat datang!�

�Aku membawakanmu onigiri.�

Ia terus-menerus mengulanginya, jelas sekali tak terdengar normal.

Aku mulai ketakutan. Itu suara Misaki. Tapi apa benar itu Misaki?

Biksu itu pernah mengatakan bahwa takkan ada seseorangpun yang akan mengunjungi kami. Ditambah lagi cara berbicara Misaki yang seolah-olah robot, aku tahu bukan ia yang berada di luar pintu kuil saat itu.

Takumi kembali dan mengenggam tanganku amat erat. Akupun tahu bahwa ia juga mendengar suara itu.

Suara itu kembali terdengar dari arah pintu kuil.

�Selamat datang!�

�Shoji!�

�Aku membawakanmu onigiri!�

Tiba-tiba pintu mulai bergetar.

Sesuatu yang ada di luar itu mencoba masuk! Aku tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi bila makhluk itu berhasil masuk.

Aku ingin kabur secepat mungkin dari sini. Biksu itu berkata ia berada di kuil utama. Namun dimana kuil utama? Apa kuil besar yang ada di bawah itu? Bisakah kami mencapainya? Lalu bagaimana jika kami kabur dan tak menyelesaikan ritual ini? Apa ia akan terus menghantui kami? Sial!

Terdengar suara hantaman yang keras dari arah pintu. Bila tadi ia hanya menggerak-gerakkannya saja, kini kurasa ia menghantamkan tubuhnya ke arah pintu. Ia masih membuat suara-suara monoton yang sama seperti suara Misaki. Ia kemudian berhenti dan terdengar berjalan mengelilingi kuil, sambil terus menghantam-hantamkan tubuhnya ke dinding di sepanjang perjalanannya.

Ia tak bisa masuk, aku mencoba menenangkan diriku sendiri. Ia tak bisa masuk.

Kemudian aku menyadari sesuatu yang menakutkan.

Di dinding dekat dimana kami berada, terdapat sebuah retakan, celah dimana papan-papan kayu bertemu. Dan ia bergerak makin dekat dengan dinding itu.

Bagaimana jika ia mengintip ke dalam melalui celah itu? Bagaimana jika ia melihat kami di dalam sini?

Aku tak mau menunggu hingga hal itu terjadi. Aku kemudian menarik kedua temanku ke tengah ruangan. Kami bergerak perlahan namun pasti.

Jantungku berdetak sangat kencang saat itu.

Kemudian tanpa sadar aku menoleh ke retakan di dinding itu. Akhirnya aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Ia sedang mengintip melalui celah itu.

TO BE CONTINUED

N Seoul Tower


Today we went onto a high tower, where we had a great view over the whole city.

It was quite impressive.

Here you can see how far we are from home!

And here is Seoul by night!

Jumat, 27 Juni 2014

Hyewha art street

Today we visited a street of the city where young artists have a lot of space for their work.


You can find a lot of street are there.

We had a nice walk...
...and enjoyed all the funny colourful pictures.

Kamis, 26 Juni 2014

Shopping in Seoul

Today we made a shopping trip through Seouls shops. In the supermarket you can find many shelves filled with instant noodle soup. It's almost like a "traditional" meal in Korea.

But for lunch we had some really traditional treats by some street food kitchens.
Here you can see traditional Korean clothing. It's a pitiy, there are none in our size.

Rabu, 25 Juni 2014

Gangnam Style


Today we visited the quarter of Seoul called Gangnam. It got famous because of the song Gangnam Style. In the picture you can see us doing the dance.


We walked through the streets. Everything was colourful and noisy.

Everything was colourful and noisy.

Here we met some K Pop stars.

Selasa, 24 Juni 2014

We visit a Buddhistic temple

 Today we visited a Buddhistic temple in Seoul. Here we are in front of the Buddha.
 The temple was very beautyful. We enjoyed the traditional atmosphere.
We felt honoured to be able to be guests at this holy place.

Senin, 23 Juni 2014

Tasty Korean Food

 After a long journey you have to eat a proper meal.
 We ate and ate until our stomach hurt.
But there's always room left for some desert. The dish you can see behind is is a traditional Korean desert. Very, very tasty!

Minggu, 22 Juni 2014

We arrived in Seoul

After our long journey we arrived in Seoul. We were tired, but also very curious. So we went down town to the shopping district Myeongdong. It all was very confusing, because we could not read one of the signs.
The map of the tube was even more confusing. We hope our hosts will find the right way!

Sabtu, 21 Juni 2014

RESORT PART 10

 

Aku menatap Shoji. Sangat sukar melihat wajahnya saat suasana yang mulai remang-remang seperti ini, namun kurasa ia tak mendengarnya.

Dapatkah kalian mendengarnya? Apa hanya aku yang bisa? Ataukah ini hanya imajinasiku saja?

Pikiranku berkecamuk. Mengetahui betapa gugupnya aku, Shoji mulai melihat sekeliling. Sangat susah untuk kembali tenang ketika kami mulai merasa takut seperti ini.

Mata Shoji tiba-tiba terfokus pada suatu titik. Ia melihat tepat ke arah belakangku. Matanya tiba-tiba membelalak.

Takumi juga menyadari hal ini. Ia mencoba melihat ke arah yang sedang dilihat Shoji, namun nampaknya ia tak melihat apapun.

Aku terlalu takut untuk menoleh.

Namun aku masih mendengar suara napas itu. Aku bahkan bisa mengatakan suara itu berasal dari belakangku. Ia sama sekali tak bergerak, hanya bernapas.

�.......huuuuuuh ... huuuuuuuuuh ...�

Aku semakin membeku ketika menyadari ada suara lain dari luar. Seperti suara sesuatu sedang diseret di tanah di luar kuil. Takumi menyadarinya dan langsung mengenggam tanganku.

Apapun itu, ia hanya berjalan mengelilingi kuil. Dan suara lain yang belum pernah kudengar sebelumnya mengikutinya.

�Kyu-ai ... Kyu-ai ...�

Walaupun tak dapat melihatnya, tapi aku tahu suara itu secara perlahan bergerak mengelilingi kuil ini.

Aku bisa merasakan detak jantung Takumi. Aku tak tahu apakah Shoji mendengarnya juga, namun ia tampak sangat tegang.

Tak ada dari kami bergerak sedikitpun.

Aku menutup mataku dan mencoba menutup telingaku. Aku hanya ingin melarikan diri dari rasa takut ini dan dalam hati berdoa agar �sesuatu� itu segera lenyap. Aku tak tahu berapa lama waktu berjalan, namun rasanya seperti lama sekali. Ketika aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling, suasana dalam kuil gelap gulita dan aku tak mampu melihat apapun.

Namun suara itu telah berhenti.

Aku tak bisa mengetahui apakah ia sudah benar-benar pergi ataukah ia masih menunggu di luar, jadi aku tetap mencoba tak bergerak sedikitpun. Namun kegelapan hanya membuat suasana malam ini semakin menyeramkan.

Tak peduli berapa lama aku mencoba membiasakan mataku, aku tetap tak bisa melihat apapun. Aku bahkan tak tahu apakah Takumi dan Shoji baik-baik atau tidak. Namun Takumi masih mengenggam tanganku dengan erat, jadi paling tidak aku tahu ia masih ada di sini.

Aku mulai mengkhawatirkan Shoji. Tadi jelas-jelas ia melihat sesuatu yang membuatnya ketakutan setengah mati. Aku mencoba mencarinya dalam kegelapan, namun aku tak bisa melihat apapun.

Aku menarik tangan Takumi, mengajaknya berjalan pelan menuju tempat dimana aku terakhir melihat Shoji. Aku bergerak sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara.

Suasana sangat gelap saat itu. Jika salah satu dari kami panik dan menjerit, maka selesailah sudah.

Aku kemudian meluruskan tangan kananku, mencoba meraih Shoji dimana ia tadi berada. Tanganku meraih sesuatu yang keras dan dingin, hampir membuatku melompat ketakutan. Namun kurasa itu hanya dinding.

Aneh. Shoji tadi ada di sini, namun sekarang ia tak ada.

Aku semakin cemas. Aku mulai berjalan menyusuri dinding hingga aku mencapai sisi lain ruangan itu.

Kami kehilangan dia. Aku ingin menangis dan berteriak, �Dimana kamu Shoji?� namun itu tak mungkin. Aku tak tahu lagi harus bagaimana, jadi aku hanya diam di sana. Takumi tiba-tiba bergerak dan gantian mengarahkanku ke tempat lain.

Pertama, ia mengajakku kembali menyusuri dinding dan kemudian berputar di pojok ruangan. Tiba-tiba saja ia berhenti dan menarik tanganku ke bawah. Aku menyentuh sesuatu yang hangat.

Itu terasa seperti tubuh seseorang yang sedang gemetar. Akhirnya kami menemukan Shoji.

Apa ini benar dia, pikirku. Kemudian aku juga mulai meragukan apa yang memegang tanganku ini benar Takumi.

Dikelilingi kegelapan yang teramat pekat, aku mencurigai segala sesuatu. Aku tetap diam dan ketika Takumi menarik tanganku lagi, akupun mengikutinya.

Kemudian aku melihat cahaya yang amat lemah. Sinar bulan sepertinya menyusup melalui celah di dinding dan membawa sedikit penerangan di dalam kuil ini. Takumi ternyata membawa kami ke arah cahaya ini.

Ketika melihat cahaya tersebut, aku merasa seperti diselamatkan. Setelah semua pengalaman ini selesai, aku sempat berterima kasih pada Takumi atas tindakannya itu dan inilah jawabannya.

�Aku tak melihat ataupun mendengar apapun. Aku memang mendengar ada suara seperti sesuatu diseret di luar. Karena itu, aku merasa lebih mampu melakukan sesuatu untuk kalian, sebab sepertinya hanya aku yang tak bisa merasakan keberadaan makhluk itu saat itu.� Dan sejak mendengar jawabannya itu, aku merasa lebih menaruh hormat kepadanya.

Akhirnya di bawah cahaya rembulan, aku bisa melihat wajah Takumi dan Shoji ditutupi keringat dan air mata. Aku penasaran apakah mereka melihat atau mendengar sesuatu, namun tentu saja saat itu aku tak bisa bertanya pada mereka.

Malam ini terasa sangat senyap. Kami hanya mendengar suara belalang bersahutan dari kejauhan.

Kami duduk melingkar sambil berpegangan tangan. Kami merasa lebih aman dalam posisi ini. Selain itu, kami bisa melihat wajah kami satu sama lain. Entah mengapa, ini membuat kami merasa lebih tenang.

Beberapa saat kemudian, hal yang tak dapat dihindarkan pun terjadi.

Takumi mengambil kantong yang diberikan sang biksu kepada kami kemudian pergi sejenak dari kami untuk melakukan urusannya.

Ruangan itu sangat sunyi, kecuali suara tetesan urine Takumi saat ia kencing. Suara itu bagi kami sangat konyol sehingga aku dan Shoji tersenyum.

Dan saat itulah suara itu muncul.

�Shoji!�

TO BE CONTINUED

On our way to Seoul

 Today we started our journey to South Korea. We travelled by plane again! First we had to wait a long time for the check in in D�sseldorf. But finally we could board the plane. 
 We had a meal on board of the plane and a little nap.
We had a stop in Abu Dhabi, where we had to wait again. We do not have wifes, so we didn't buy them presents.

Kamis, 19 Juni 2014

A short break in Stendal

 Today we arrived in Stendal, but we didn't even have time to sty over night. Our next adventure was waiting. We only changed envelopes and started our journey to Krefeld.

Minggu, 15 Juni 2014

RESORT PART 09

 

Terasa sangat dingin di dalam kuil. Aku khawatir dengan syarat tak boleh makan dan minum, namun aku merasa percaya diri kami bisa bertahan untuk malam ini.

Bangunan itu sendiri sudah amat tua dan banyak celah-celah di dinding dimana papan-papan kayu bertemu. Kuil juga amat kecil.

Karena masih siang, aku masih dapat melihat wajah Takumi dan Shoji lewat cahaya yang masuk melalui celah-celah di dinding kayu. Ini pertama kalinya kami tidak saling berbicara meskipun kami berada sangat dekat satu sama lain.

Aku mengangguk untuk mengatakan, �Segalanya akan baik-baik saja.� Dan mereka mengangguk balik.

Setelah beberapa lama, kami berhenti saling menatap satu sama lain dan berakhir saling membelakangi. Frustasi pada kenyataan kami tak boleh saling berbicara, waktu berjalan sangat lambat. Kami tak mengetahui berapa lama kami di sini atau jam berapa sekarang. Yang dapat kami lakukan hanya duduk di sini dan menunggu dalam kebingungan.

Kami serasa menunggu sangat lama, namun masih terang di luar sana. Takumi mulai mengeluarkan suara. Heran dengan apa yang ia lakukan, aku menoleh untuk menyuruhnya diam. Ternyata ia memegang sebuah pena dan menghadapkan seutas kertas ke arah kami.

Ia tak mengindahkan apa yang dikatakan sang biksu dan membawa pena ke dalam. Kertas yang ia tunjukkan kepada kami adalah bungkus permen karet. Mungkin benda itu ada di sakunya selama ini.

Apa yang kau lakukan?

Aku memikirkannya beberapa saat. Biksu itu memang hanya melarang kami berbicara, bukan menulis, jadi sepertinya ini tak ada salahnya. Bagaimanapun aku merasa lega kami masih bisa berkomunikasi.

Aku membaca apa yang ditulis Takumi di kertas itu.

�Apa kalian baik-baik saja?�

Aku mengambil pena itu dan menulis sekecil mungkin,

�Aku baik-baik saja. Shoji?�

Aku memberikan kertas itu padanya dan ia menulis, �Aku baik-baik saja juga. Aku sudah tak mampu lagi melihat mereka.�

Ia kemudian mengembalikan kertas dan pena itu pada Takumi. Kami kemudian terus menggunakannya untuk berkomunikasi satu sama lain.

�Aku masih punya 4 lagi bungkus permen karet,� Takumi menulis, �Semoga ini cukup. Tulislah sekecil mungkin.�

�OK� aku setuju, �Kita tak akan bisa melakukannya saat matahari terbenam, jadi ayo kita menulis selagi bisa.�

�Apa kalian tahu jam berapa ini?� Takumi menulis.

�Tidak.� Aku menggeleng.

�Sekitar jam 5?� Shoji menebak.

�Kita masuk ke sini sekitar jam 1.� tulis Takumi.

�Jadi kita di sini baru empat jam� aku menarik kesimpulan.

�Ini akan menjadi malam yang panjang.� Dengan menulis itu, Takumi menghabiskan kertas pertamanya.

�Tulisanmu terlalu besar, Yuuki.� Tulisnya pada kertas berikutnya. Aku membuat gesture minta maaf dan ia memberikan pena serta kertasnya kepadaku.

�Aku lapar.� Aku menyerahkan kertas itu pada Shoji, namun ia langsung memberikannya pada Takumi.

�Aku juga.� balas Takumi. Ini aneh, pikirku. Saat kami tidak bisa saling berbicara tadi, ada banyak hal yang ingin kusampaikan. Namun begitu kami menemukan cara untuk berkomunikasi, kami justru tak bicara banyak. Namun ada satu hal yang ingin kuungkapkan sebelum matahari terbenam.

�Apapun yang terjadi, kita akan melewati ini semua!�

�Tentu saja.� tulis Shoji.

�Bagaimana jika aku tiba-tiba ingin berteriak?� tanya Takumi.

�Sumpalkan sesuatu ke dalam mulutmu.� saranku.

�Seperti apa?� tanya Takumi.

�Aku akan menyumpalkan kaosku.� kata Shoji.

�Berharap sajalah takkan terjadi sesuatu.� Aku menulis. Namun aku sendiri meragukannya. Biksu itu memang tak mau berterus terang tentang apa sesungguhnya yang menimpa kami. Namun, ia menekankan bahwa sesuatu akan terjadi.

Dengan pikiran itu, aku berharap waktu akan segera cepat berlalu. Namun aku sangat takut, apa yang akan terjadi ketika malam tiba?

Rasa takutku ketika aku berdiri di ujung tangga di �kuil� itu kembali menyeruak. Satu-satunya yang menyelamatkanku saat itu adalah melihat teman-temanku ada di sana, menungguku.

Sedikit, aku berhasil membunuh rasa takut dengan ingatan itu, dimana teman-temanku selalu ada untukku.

Aku kembali menulis di atas kertas itu, �Kita tak punya banyak waktu lagi. Apa ada yang ingin kalian bicarakan?�

Aku hanya berharap pembicaraan sehari-hari akan sedikit menenangkan perasaan kami yang sedang kacau saat itu.

Takumi sepertinya mengerti dan mengambil kertas tersebut, �Apa yang akan kalian lakukan saat pulang nanti?�

�Pertanyaan bagus,� tulisku, �Kurasa aku akan ke rental video.�

�Kenapa ke sana?� tanya Shoji.

�Aku lupa mengembalikan DVD saat kita berangkat dulu.�

�Hah? Serius? Ini sudah hampir sebulan. Dendanya pasti sangat mahal.� balas Shoji.

�Apa itu DVD yang isinya aneh-aneh?� tanya Takumi.

Aku tersenyum. Sebenarnya itu hanya bohong belaka. Aku hanya menulis itu agar kami memiliki sesuatu untuk dibicarakan. Ini bekerja, kami merasa sedikit santai setelahnya. Baik Takumi dan Shoji kemudian menulsikan rencana-rencana mereka. Cukup untuk membuat kami merasa optimis sedikit.

Ketika kertas yang kami miliki hampir habis, Shoji menulis sesuatu yang membuatku merinding.

�Aku akan melakukan apa yang dikatakan biksu itu. Aku tak mau mati.�

Takumi dan aku saling bertatapan. Kami tak pernah menyinggung-nyinggung kata �mati� sebelumnya. Dan ini menyadarkanku bahwa nyawa kami mungkin dalam bahaya.

Aku hanya bisa mengangguk pada Shoji.

Setelah itu, matahari mulai terbenam. Aku merasakan kesepian yang sama ketika aku pertama masuk ke kuil ini. Suara jangkrik mulai bersahutan di luar. Namun aku segera menyadari ada yang ganjil.

Aku mendengarkan lebih saksama. Aku bisa mendengar sayup-sayup suatu suara yang aneh. Aku mencoba mendengar lebih baik. Dan semakin aku mencoba, aku mendengar suara itu semakin jelas dan jelas.

Itu suara napas yang kudengar di lantai dua penginapan saat itu.

TO BE CONTINUED

Our last day with Julia

Yesterday was our last day with Julia and her family.
 We walked a bit through the city. Here we are at the city pond of Stadtfurt.
In Sta�furt was one of the most sloping towers worldwide! But now a day it doesn't exist anymore...
 Now it was time to say goodbye! It was a nice time with Julia! Our next adventure is waiting! See you soon guys!

Selasa, 10 Juni 2014

We deal with the heat

Today was one of the hottest days this year! We were so exhausted that we only could sit in the sand of a playground. We hope that the wether will get a bit colder next days!

Minggu, 08 Juni 2014

RESORT PART 08

 

Aku menoleh, dan tetap, aku tak melihat apapun di balik pintu kertas itu. Namun aku memperhatikan raut wajah Shoji amat ketakutan.

Biksu itu menoleh ke arah kami, �Jadi mana anak yang katamu bisa melihat mereka itu?�

�Shoji, anak ini.� ketika Ryuichi mengatakan hal itu, pria paruh baya dan pria tua itu saling menatap satu sama lain.

Sang biksu kemudian berbicara.

�Apa dia juga yang masuk ke dalam kuil?�

�Tidak.� Ryuichi menggeleng, �Itu adalah Yuuki.�

�Hmm...� hanya itu yang bisa dikatakan biksu itu.

�Shoji hanya di luar dan hanya mengamati, kurasa.� sambung Ryuichi.

�Begitukah?� biksu itu terdiam sesaat lalu berbicara dengan Shoji, �Apa ini kali pertamanya kamu mengalami hal seperti ini?�

�Mengalami hal seperti ini?� ia bertanya, tak yakin dengan apa yang dimaksud biksu itu.

�Ya, melihat roh atau hal-hal seperti itu.�

Shoji mengangguk, �Ini kali pertamaku.�

�Jadi begitu? Hmm...ini cukup aneh.�

�A....� Shoji tampak hendak berbicara dan semuanya menoleh ke arahnya.

�Bicaralah.� kata sang biksu.

�Apa aku akan mati?� ia tampak bergetar saat mengatakannya.

�Ya,� sang biksu menjawab tanpa tedeng aling-aling, �Jika ini terus berlanjut, kau pasti akan mati.�

Shoji kehilangan kata-kata. Gemetarnya berhenti seketika dan kepalanya menunduk.

Melihatnya, Takumi langsung berbicara, �Apa maksud anda dengan dia akan mati?�

�Maksudku ia akan dibawa pergi,� sang biksu menjawab. Takumi dan aku masih tak mengerti dengan apa yang ia maksud. Sesuatu akan membawa Shoji pergi?

Sang biksu melanjutkan perkataannya,

�Aku tak terkejut kalian tak memahami perkataanku.� Ia berpaling kepadaku, �Yuuki, ketika kamu masuk ke dalam kuil, apa kamu merasakan ada yang aneh?�

Kuil? Aku mengasumsikan yang ia maksud adalah lantai kedua hotel itu.

�Aku mendengar sesuatu. Suara garukan dan ada suara napas yang aneh. Ada banyak jimat menancap di pintu ...�

�Begitu,� kata sang biksu, �Kamu mungkin tak menyadarinya, namun yang tinggal di sana bukanlah manusia.�

Aku tak terkejut. Aku sudah menduganya sejak awal.

�Aku percaya bahwa kau dapat merasakan keberadaan mereka dengan indra pendengaranmu. Sedangkan Shoji, temanmu, bisa merasakan mereka lewat indra penglihatannya.� biksu itu menjelaskan, �Biasanya manusia tak mampu merasakan mereka. Mereka tinggal di suatu tempat, tanpa ada yang memperhatikan, meringkuk dalam kesunyian.

�Shoji,� ia berpaling ke temanku itu, �Apa kau melihatnya sekarang?�

�Tidak, namun aku bisa melihat bayangannya,� ia menoleh dengan gugup, menatap pintu geser kertas yang berada di samping kami. �Ia mencakari pintu dengan sangat keras.�

�Ia tak bisa masuk. Aku melindungi tempat ini, namun tetap saja ia berusaha menghancurkan pelindung itu.� Ia berhenti beberapa saat sebelum kembali melanjutkan, �Tapi kalian tak bisa tinggal di sini selamanya. Aku akan meminta kalian pergi ke suatu tempat. Dan Shoji, kau harus mengerti ... mereka akan mencoba muncul kembali di hadapanmu. Aku sadar ini akan sangat sulit bagimu. Namun kau harus tetap tenang dan mengikuti apapun perintahku.�

Shoji hanya mampu mengangguk tanpa menjawab sepatah katapun. Kami mengikuti biksu itu dan meninggalkan rumah yang melindungi kami. Kami berjalan masuk ke torii dan menaiki tangga batu itu ke atas. Ryuichi hanya mengikuti kami sampai ke luar rumah. Ia kemudian membungkuk dan meninggalkan kami di tangan biksu itu.

Merasa ditinggalkan oleh satu-satunya orang yang kami kenal, kami bertiga mengikuti biksu itu dengan enggan. Shoji terlihat sangat lelah dan ketakutan. Berupaya melindunginya, aku dan Takumi berjalan sambil mengapitnya. Kami berusaha sebisa mungkin menjaganya dari apapun yang ia lihat.

Begitu kami sampai di anak tangga terakhir, kami melihat sebuah kuil besar. Namun mengejutkan bagi kami, biksu itu tidak membawa kami ke sana; melainkan melewati sisi kanan kuil tersebut dan terus berjalan. Di sana terdapat sebuah torii lain dan tangga-tangga batu menuju ke atas. Namun sebelum kami tiba di bawah gerbang itu, sang biksu berbicara pada kami.

�Shoji, apa yang ia lakukan sekarang?�

�Ia berdiri ...� Shoji berkata, masih melihat ke sekeliling, �Ia selalu mengawasi dan mengikuti kita, kemanapun kita pergi.�

�Hmm... dia sudah berdiri? Dia pasti sangat bersemangat karena kau bisa melihatnya.� Biksu itu menjelaskan, �Kita sudah tak punya banyak waktu. Ayo, cepat!�

Ketika kami selesai menaiki anak-anak tangga tersebut, kami melihat kuil lain. Kuil ini lebih kecil, namun umurnya terlihat lebih tua daripada kuil yang ada di bawah tadi. Biksu itu berjalan ke bagian belakang kuil kemudian memanggil kami. Kami berjalan ke tempat dimana ia berdiri dan ia menjelaskan bahwa kami harus menghabiskan malam ini di dalam kuil untuk membersihkan diri kami dari apapun yang mencoba menempel pada kami. Begitu kami masuk, ternyata tak ada satupun sumber penerangan dan kami juga dilarang berbicara sepatah katapun hingga fajar tiba.

�Tentu kalian juga tak boleh menggunakan telepon genggam kalian juga.� Sang biksu menjelaskan, �Semua yang menghasilkan cahaya tidak diperbolehkan di dalam kuil ini. Aku juga melarang kalian untuk makan dan tidur selama kalian berada di dalam kuil.�

Ia memberikan kepada kami masing-masing sebuah kantong aneh dan mengatakan pada kami untuk menggunakannya apabla kami benar-benar membutuhkannya. Aku menatapnya lekat-lekat. Kantung ini untuk apa? Sebelum aku bertanya, biksu itu seakan sudah bisa membaca pikiranku dan menjelaskan bahwa kantong itu tahan air. Aku pikir itu adalah toilet kami untuk malam ini. Memang sukar dipercaya, namun kami terpaksa menerima semua peraturan yang diberikan kepada kami.

Setelah biksu itu selesai menjelaskan, kami diminta untuk meneguk air dari sebuah pipa bambu sebelum kami masuk ke dalam kuil.

Kami masuk ke dalam kuil satu-persatu, namun ketika Shoji masuk, ia menutup mulutnya tiba-tiba dan keluar untuk muntah. Takumi dan aku terkejut, namun ada yang lebih terkejut daripada kami. Biksu itu. Ia segera kehilangan postur tenangnya begitu melihat apa yang terjadi pada Shoji.

�Kalian tidak pergi ke kuil itu lagi hari ini, bukan?�

�Hah, tidak...tentu tidak.� jawabku.

�Aneh. Kalian hanya masuk sekali, namun upacara pembersihan langsung dimulai begitu kalian masuk. Bahkan kalian tak bisa masuk ke dalam kuil ini...�

Aku tak mengerti apa yang biksu itu katakan, namun ia menatap tas yang dibawa Shoji.

�Selama kalian tinggal di hotel, apa seseorang pernah memberikan kalian sesuatu?�

�Kami mendapat upah kami, namun hanya itu.�

Kemudian barulah kami teringat, �Oya, nyonya pemilik penginapan memberikan kami sebuah tas uang koin kecil.�

�Dan onigiri.� sahut Takumi.

Setelah mendengar hal tersebut, biksu itu bertanya pada Shoji, �Apa kau kebetulan membawa benda-benda itu?�

�Aku meninggalkan onigiri itu di tasku yang lain, namun kurasa aku punya uang koin dan amplop berisi upah kami.� Ia membuka tasnya dan mengeluarkan amplop dan tas uang koin yang kami terima. Sang biksu mengambil tas kecil itu dan membukanya.

Semula aku berpikir tas itu akan berisi uang-uang koin sebagai bagian dari upah kami.

Namun ketika ia membukanya dan memperlihatkan isinya pada kami, kami langsung mundur dengan ketakutan.

Tas kecil itu berisi potongan-potongan kuku, sama seperti potongan kuku yang menggores kakiku kemarin. Kuku-kuku berwarna putih dan merah.

Shoji muntah lagi dan biksu itu memutuskan untuk mengambil semua barang yang kami bawa. Kami memberikannya dompet, telepon genggam, dan benda lainnya yang kira-kira kami dapatkan dari hotel. Biksu itu mengangguk pada kami dan membiarkan Shoji minum dari pipa bambu itu kembali.

Kami bertiga masuk kembali ke dalam kuil.

�Kalian tak boleh membuka pintu ini,� kata sang biksu, �Aku akan berada di kuil utama. Aku akan kembali menjemput kalian esok pagi.�

Ia berhenti sesaat dan menatap kami.

�Kalian tidak boleh berbicara pada apapun yang mungkin akan datang dari balik dinding. Kalian tak boleh berbicara satu sama lain juga. Kam tidak mengatakan pada siapapun dimana kalian berada, jadi tidak akan ada siapapun yang datang untuk kalian malam ini, ingat itu! Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian.�

Biksu menatap kami lagi dan kami mengangguk ke arahnya. Hanya itu yang bisa kami lakukan. Kami sudah tidak diperbolehkan berbicara, sehingga kami hanya diam, ketakutan.

Biksu itu meninggalkan kami dan menutup pintu kuil itu rapat-rapat.

TO BE CONTINUED

We visit Sta�furt

Yesterday our friend Julia took us to Sta�furt.




Sta�furt was famous for its potash mining.


Here potash was first mined worldwide. That was in 1852!



Our friend Peter showed us all nice places in Sta�furt.