Sabtu, 29 Agustus 2015

JEFF X: THE RISE OF HOMICIDAL LIU � CHAPTER 01 (ORIGINAL SERIES)

 

NEMESIS

Copyright by: Dave Cahyo

  jeff_the_killer_______by_gatanii69-d6hxwpx

 

2015, SACRED HEART HOSPITAL � NEW DAVENPORT

 

�Kau akan selalu menjadi saudaraku, Liu.� Sosok itu bangkit di tengah kobaran api sambil memegang pisau berlumuran darah.

�Kau ...� bisik Liu ketakutan, �Kau masih hidup?�

�Aku akan selalu jadi mimpi burukmu, Liu ...� ia tersenyum, �Aku akan selalu menghantuimu ... selamanya ...�

�TIDAAAAAAK!!!�

 

Liu terbangun. Itu semua hanya mimpi buruk, bisiknya. Ia mengusap dahinya yang basah dengan keringat. Ia baru tersadar bahwa ia tengah terbaring di sebuah ranjang berwarna putih. Tangannya memakai perban dan ia merasakan sakit saat menggerakkan tubuhnya. Punggungnya ... ya, terakhir kali ia ingat, punggungnya ditikam oleh Jane The Killer.

�Apa kau baik-baik saja?� seorang gadis berseragam perawat mendatanginya. Kekhawatiran tampak menggelayuti wajah cantiknya.

Liu memaksakan dirinya untuk tersenyum, �Aku baik-baik saja.�

�Kau bermimpi buruk? Itu wajar setelah apa yang kau alami.�

�Jeff!� Liu tiba-tiba teringat padanya, �Ledakan di asylum itu ... Jeff, apa dia sudah ...�

�Polisi menemukan beberapa mayat di dalamnya,� jawab perawat itu, �Namun mereka belum berhasil mengidentifikasi mereka. Jenazah mereka terlalu hancur untuk bisa dikenali.�

�Sudah berapa hari sejak kejadian itu?� Liu mengusap wajahnya lagi. Ia merasa begitu lemah.

�Seminggu. Kau koma selama seminggu.�

�Astaga!� Liu terkejut, �Selama itukah?�

�Ya,� gadis itu tertawa, �Lukamu sangat parah. Tapi hebatnya, menurut marshall yang membawamu ke sini, kau berhasil menyelamatkan dua remaja.�

Ah, Marshall dan dua gadis itu. Liu ingat sekarang. �Mereka baik-baik saja bukan?�

�Seharusnya kau lebih mengkhawatirkan dirimu sendiri, Liu.� gadis itu memandang tepat di matanya, �Kau benar-benar tak ingat aku ya?�

�Maaf?� Liu tampak heran, �Apa kita pernah berkenalan sebelumnya?�

�Aku Eva Gonzales, apa kau ingat? Aku adik Marisol Gonzales yang pernah kau selamatkan saat tragedi di New Daveport High. Aku sering melihatmu di sekolah sebelumnya. Aku dua tingkat di bawahmu.�

�Oh, Eva?� Liu lebih keheranan lagi. Dahulu gadis itu tampak tak menarik dan culun, berbeda 180 derajat dengan kakaknya. Namun kini ia sudah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik.

�Astaga, maaf ... aku tak mengenalimu. Dimana aku sekarang?�

�Rumah Sakit Sacred Heart di New Davenport. Kau ingat?�

�Ah ya. Rumah sakit tua itu ...�

�Yah,� Eva tertawa, �Kau ingat betapa takutnya kita saat teman-teman di sekolah bercerita kalau rumah sakit ini berhantu. Ironisnya sekarang aku malah bekerja di sini.�

Liu ikut tertawa, �Ah, syukurlah kau mendapatkan pekerjaan. Namun apakah rumah sakit ini selalu sesepi ini?�

Eva menghela napas, �Tak lama lagi rumah sakit ini akan segera ditutup.�

�Kenapa?�

�Terjadi sesuatu. Hanya kau dan satu pasien lainnya yang masih berada di sini ...�

�Eva! Apa kau masih sibuk? Bantu aku di sini!� seorang laki-laki berwajah masam muncul di ambang pintu.

�Sebentar, Dr. Steele!� kata Eva. Gadis itu kemudian meninggalkan Liu sendirian di kamar itu.

Liu meletakkan kepalanya di bantal. Ia menoleh dan melihat tirai putih di sampingnya. Bayangan hitam tengah bergerak-gerak di baliknya.

 

2465 AD, KAPAL GENESIS � ORBIT JUPITER

Liu membuka matanya. Tampak raut seorang wanita cantik dengan mata coklat dan rambut hitam bergelombang memandanginya dengan khawatir.

�Eva ...� bisiknya, �Apa itu kau?�

Gadis itu membuka mulutnya, mencoba berkomunikasi dengannya. Namun yang Liu dengan hanyalah gumaman tak jelas, seakan ia sedang berbicara dengan bahasa lain.

Terdengar suara lain, kali ini dari wanita berbaju putih yang ada di sampingnya. Namun Liu masih tak mengerti apa yang ia katakan.

Gadis di depannya kemudian meletakkan sesuatu di telinga Liu, seperti sebuah mikrofon. Tiba-tiba Liu mengerti perkataannya.

�Apa kau baik-baik saja, Liu?�

LIU

�Bagaimana aku bisa tahu namaku? Dimana aku?� Liu kebingungan melihat ke sekelilingnya. Segalanya tampak aneh. Ia seperti berada di sebuah ruangan yang seluruhnya terbuat metal berwarna putih.

�Apa hal terakhir yang kamu ingat?�

�A ... aku ada di rumah sakit ... Sacred Heart Hospital.�

�Tahun berapa ini? Kau masih ingat?�

�Ehm ... 2015? Apa maksudmu menanyakan tahun? Di ... dimana aku?�

Kedua wanita di depannya saling berpandangan. �Namaku Nova.� kata gadis berambut keperakan yang menyadarkannya tadi, �Dan kau berada di tahun 2465.�

NOVA

�A ... apa maksudmu? Eva ... dimana Eva!� Liu berontak dan berusaha keluar dari peti dimana ia terbaring. Ia baru tersadar bahwa tak hanya mereka bertiga yang ada di sana. Ada orang-orang lain yang sepertinya juga baru tersadar dari tidur mereka.

�Kenapa aku ditaruh di peti ini? Siapa kalian?�

�Namaku Dr. Theana, kepala medis di sini. Kau berada di kapal Genesis.� kata wanita lainnya. Ia memiliki wajah cantik dengan rambut pirang keemasan dan sepasang mata biru. �Ini adalah asistenku, Nova. Kau baru saja tersadar dari proses cryogenic. Wajar jika kau mengalami amnesia selama proses pembekuan. Namun ingatanku pasti akan kembali cepat atau lambat, jangan khawatir.�

THEANA (2)

Cryogenic?� Liu masih kebingungan dan melihat ke sekelilingnya. Ada enam peti selain peti dimana ia tertidur. �Maksudmu tubuhku dibekukan?�

�Benar. Kapal kami sedang dalam perjalanan menuju Europa. Seharusnya kau dibangunkan sesampainya di sana. Namun perjalanan kami terganggu sehingga ...�

�Europa?� potong Liu, �maksudmu Eropa?�

�Bukan,� jawab Nova, �Europa, satelit dari planet Jupiter.�

�Jupiter? Ka ... kalian pasti gila!!!� Liu masih sukar mempercayai apa yang ia alami. �Aku ... aku ada di Sacred Heart Hospital di kota kelahiranku, New Davenport. Aku koma setelah berhadapan dengan Jeff The Killer. Ini ... ini pasti mimpi!�

�Nixa!� terdengar suara seorang pria berteriak dengan histeris. Ia juga memakai pakaian aneh, pikir Liu, semacam seragam dengan inisial DAX di punggungnya. Seragam yang sama dipakai oleh Nova dan Dr. Theana.

DAX

�Nixa, ada apa denganmu?� serunya lagi. Ia berusaha mengguncang-guncangkan tubuh seorang wanita yang tergeletak di dalam peti cryogenic. Namun perempuan itu tak kunjung segera terbangun.

NIXA

�Sersan Gabri!� Dr. Theana memanggil seorang pria lainnya, �Apa yang terjadi?�

�Satu spesimen tak dapat dibangkitkan, Dokter!� jawab seorang pria bertubuh tegap yang dipanggil Sersan Gabri itu. Sepertinya ia seorang tentara, pikir Liu.

GABRI

Nova membantu Liu keluar dari peti. Pemuda itu lalu memandangi orang-orang yang ada di sana satu demi satu.

Dr. Theana menghampiri pria itu. Wanita di dalam peti yang ditangisinya itu masih terbaring, namun wajahnya pucat.

�Maafkan aku, Dax.� ucap Dr. Theana dengan raut wajah sedih, �Dia sudah meninggal.�

�Tidak! Tidaaaak!!!� pria yang dipanggil Dix itu menangis.

�Tubuhnya membiru,� kata Nova. Liu ikut mendekat untuk melihat mayat yang masih terbaring di dalam peti cryogenic itu, �Pasti dia kehabisan oksigen.�

�Lihatlah sambungan selang oksigen itu.� tunjuk Dix sambil mengusap air matanya, �Selang itu terputus. Makanya istriku ... Oh, Nixa ...�

�Pasti tabrakan itu menyebabkan selangnya terputus ...� Dr. Theana berbalik dan menghadap ke kerumunan orang yang berada di ruangan itu. �Namaku Dr. Theana dan ini asistenku, Nova. Kalian berada di atas kapal Genesis. Apa ada yang terluka atau kehilangan ingatan? Sebutkan nama dan asal kalian!�

�Tentu saja aku ingat siapa aku!� seru seorang wanita dengan nada murka. Ia memakai gaun panjang berwarna hitam, �Namaku Princess Aurora, ratu dari Kerajaan Aphrodite, Venus! Kenapa aku di sini? Aku menuntut jawaban!�

AURORA

�Princess Aurora? Aku ingat namamu.� kata seorang pria yang berada di sebelah Liu. Liu menoleh ke arahnya, �Bukankah kau seharusnya ada di penjara karena kasus itu? Kenapa kau ada di sini?�

�Dasar manusia hina!� tunjuk Princess Aurora dengan geram, �Beraninya kau menuduhku sebagai penjahat! Bila kau berada di Venus, kau pasti dihukum! Siapa kau?�

�Namaku Icarus dari koloni Mars. Dimana aku? Kenapa aku dibawa ke sini?�

ICARUS

�Koloni Mars?� tanya Nova, �Berarti kau adalah satu-satunya penduduk yang selamat.� Wajahnya tampak iba.

�Selamat? Apa maksudmu? Apa yang terjadi di planetku?� tanya Icarus.

�Maaf, tapi koloni di Mars telah musnah akibat letusan Gunung Olympus Mons sepuluh tahun lalu.�

�Apa?� wajah Icarus berubah pucat.

�Olympus Mons?� tanya Liu dalam hati. Ia pernah mendengarnya, itu adalah gunung berapi terbesar di tata surya, tingginya bahkan melebihi Mount Everest. Jadi manusia sudah berhasil membangun koloni di Mars dan Venus. Luar biasa, pikirnya.

�Namaku Saffron� seorang pemuda dengan senyum simpatik. Ia memakai pakaian aneh, seperti badut. �Aku berasal dari Neo Paris di Bumi. Apa yang terjadi dengan rumahku?�

SAFFRON

�Di Bumi kejadiannya bahkan lebih lama lagi. Planet itu sekarang telah tenggelam dan tak ada lagi yang tinggal di sana.� Nova menjelaskan.

Pemuda itu menunduk, terdengar isakan pelan dari bibirnya. Namun aneh, seutas senyuman itu tetap tak menghilang dari wajahnya walaupun ia jelas-jelas terdengar sedih.

�Dan kau, siapa namamu?� tanya Dr. Theana.

�A ... aku?� orang terakhir di ruangan itu adalah seorang remaja berwajah Asia berusia 13 tahun. Rambutnya pendek sehingga Liu sempat mengira ia adalah laki-laki, namun ia terkejut mendengar suara perempuan keluar dari mulutnya.

HIKARU

�Aku tak ingat siapa namaku.�

�Hikaru, kurasa itu namamu sambil menunjuk.� kata Icarus tiba-tiba, �Tertulis di peti cryogenic-mu.�

�Jadi kau tak ingat apapun, Hikaru?� tanya Nova.

Gadis kecil itu menggeleng. Wajahnya tampak gugup.

Liu mencoba tersenyum kepadanya agar dia tak ketakutan. Liu tahu rasanya terbangun di suatu tempat yang tak ia kenal bersama orang-orang asing dan jauh dari rumah.

�Tak apa-apa, aku juga amnesia.� kata Liu. Gadis bernama Hikaru itu merasa lebih tenang setelah mendengarnya.

�Terlebih dahulu aku perkenalkan, ini petugas keamanan kapal ini Letnan Gabri dari Korps Galaktik dan ini Dax, teknisi kapal ini. Nahkoda kapal kita adalah Kapten Dranagon, sebentar lagi kalian akan menemuinya.� kata Dr. Theana, �Baiklah semua! Jika tak ada yang mengalami luka-luka, maka kita harus segera kembali ke kokpit.�

Mereka semua terkejut dan berteriak ketika tiba-tiba lampu padam dan suara alarm keras berbunyi dengan nyaring.

�Astaga! Ada kebocoran di bagian kapal ini! Kita harus segera kembali ke ruang utama dan menutup pintu menuju ke ruangan ini agar kebocorannya tidak meluas!� seru Dax.

Dr. Theana segera menyalakan suar ultraviolet yang dipegangnya. �Ayo semuanya! Ikuti aku!!!�

Mereka semua segera mengikuti Dr. Theana yang berlari paling depan. Liu hampir tak bisa melihat apapun kecuali nyala suar itu. Kondisinya sangat gelap dan ia berlari paling lambat, namun ia merasakan masih ada beberapa orang di belakangnya.

Tepat di belakang Liu ada Sersan Gabri yang memastikan semua orang telah keluar dari ruangan itu.

�Ayo cepat! Kau juga harus keluar!� seru Sersan Gabri kepada salah satu penumpang kapal itu, namun ...

�Aaaaargh!!!� suara erangan penuh kesakitan dari tentara itu segera ditenggelamkan oleh suara sirine darurat yang mendengung, �Apa ... apa yang kaulakukan?�

Pembunuh itu merasa puas ketika mendengar rintihan terakhir korbannya. Ia lalu mengeluarkan pisau yang tadi ia tusukkan ke tubuh Sersan Gabri dan segera berlari untuk bergabung dengan yang lainnya.

 

TO BE CONTINUED

 

NB: semua gambar karakter manga di sini gue ambil dari internet secara random untuk mempermudah kalian membayangkan tokoh-tokohnya, sebab terdapat banyak karakter di film ini. Segala komentar berbau otaku yang tidak ada kaitannya dengan jalan cerita tidak akan dipublish.

Senin, 24 Agustus 2015

RURAL HOUSE: CHAPTER 5 (FINAL)

 

RURAL  

By Andieta Octaria

  ***

Eric membuka matanya perlahan. Kepalanya berdenyut hebat. Ia menatap ke sekelilingnya. Ia mengenali kamar ini. Kamar kecil di bagian belakang rumah tempatnya menemukan Sonia.

Ia pasti pingsan tadi. Namun sudah berapa lama ia pingsan? Apakah sudah berjam-jam?

Ia menatap ke sekeliling. Di sampingnya, Sonia terikat sepertinya. Ia bisa merasakan darahnya mendidih. Sampai ada yang berani menyakiti Sonia, sungguh ia tak akan tinggal diam! Eric mati-matian berusaha melonggarkan ikatan tangannya. Namun hingga tangannya sakit dan pergelangannya melepuh, ikatannya tak kunjung lepas.

�Sepertinya ada yang sudah bangun��

�LEPASKAN SAYA!�

�Lepaskan? Jangan bercanda. Kita akan mati bersama.�

�Siapa kau?� Eric menatap pemuda di hadapannya lekat-lekat. Pemuda itu membawa sebuah jerigen. Dari baunya yang menyengat, ia tahu apa isi jerigen tersebut.

 

Bensin.

�Aku tidak memiliki urusan denganmu. Urusanku dengan gadis itu.� Handy menunjuk Sonia. Ia menarik kursi, lalu duduk di depan Eric, �Namun karena gadis itu tak kunjung sadar, sepertinya ada baiknya aku menceritakan padamu saja. Toh kalian akan mati sebelum gadis itu sempat membuka mata.�

�Aku Handy. Putra Arina. Ibuku dihukum mati karena keluarga sialan itu. Kau tahu, ibuku membutuhkan uang! Kami membutuhkan uang! Padahal keluarga Rural sudah memiliki cukup kaya! Meskipun rumah yang mereka tinggali kecil, namun keluarga itu mampu membuat masjid dan bahkan sekolah di desa ini! Mereka memiliki begiitu banyak uang hingga bahkan warga masih menghormati keluarga itu dan masih membersihkan rumahnya hingga kini. Namun mengapa mereka tak mau memberikan uangnya pada ibu? MENGAPA!� Handy berteriak histeris. Eric berharap suara teriakan Handy terdengar sampai rumah sebelah. Namun sepertinya mustahil. Jarak antar rumah di tempat ini cukup jauh.

�Andai saja keluarga itu merelakan uangnya, aku masih bisa tinggal bersama ibu. Andai saja��

�Saya bahkan tidak tahu rasanya memiliki ibu.� Eric memotong perkataan Handy, �Saya besar di panti asuhan. Ibu saya bahkan meletakkan saya di dalam kardus bekas apel saat saya masih bayi dan meletakkan saya di depan pintu panti asuhan.�

Eric menelan ludah berat. Ia tak pernah suka menceritakan masa kecilnya. Karena itu ia menyukai Sonia. Gadis itu tak pernah bertanya macam-macam mengenai kehidupannya, tidak seperti gadis lainnya yang selalu ingin tahu atau berusaha menyembuhkan luka masa lalunya.

Luka itu akan selamanya ada disana, suka atau tidak suka. Ia tak pernah memiliki keluarga, namun selama ia memiliki Sonia, semuanya terasa kembali sempurna.

�Anda pemuda yang beruntung karena memiliki ibu. Anda bahkan mengetahui nama ibu anda, Arina. Nama yang cantik.�

�TIDAK USAH SOK TAHU!�

�Saya tahu. Arina berambut keriting besar-besar, dengan tubuh kurus dan suara berat yang serak,� Eric mati-matian berusaha mengingat perempuan yang ia lihat saat ia pingsan. Perempuan yang menyanyikan lagu yang membuat bulu kuduknya meremang. Perempuan yang berjalan menembusnya. Ibu Handy.

Handy seakan terpukul mendengar perkataan Eric. Mendengar deskripsi mengenai ibunya membuatnya limbung. Ia dipenuhi perasaan rindu.

�Ia wanita yang baik. Ia bahkan mengatakan bahwa anda anak yang baik, dan betapa ia menyayangi anda,� ujar Eric berbohong. Handy menutup matanya dengan kedua telapak tangan. Diam-diam, Eric menggerakkan kedua tangannya, mencoba melonggarkan ikatan tangannya.

�Tapi semuanya sudah terlambat. Kalian harus mati.�

�Tak pernah ada kata terlambat. Ibumu bukan pembunuh. Bila kamu membunuh kami berdua sekarang, berarti kau seorang pembunuh.�

Eric berusaha mengulur waktu. Ia tak tahu pukul berapa saat ini. Namun ia yakin sebentar lagi pagi. Setidaknya, pasti ada orang yang melewati rumah ini di pagi hari, dan mungkin ia bisa selamat.

Tidak, ia harus selamat! Ia sudah berjanji akan menjaga Sonia.

Hendy tersenyum sedih, lalu menatap Sonia. Tanpa berkata-kata, ia membuka tutup jerigen di tangannya. Aroma bensin langsung menyeruak di udara. Eric membeku. Terlambat. Tak ada yang dapat ia lakukan lagi.

Tiba-tiba, dari kejauhan, mereka mendengar suara ketukan di jendela. Eric menarik nafas lega. Akhirnya ada yang menemukan mereka. Namun, ketukan tersebut semakin lama semakin besar, hingga akhirnya suara tersebut memekakan telinga dan membuat rumah seakan bergetar.

Belum selesai rasa terkejut mereka karena suara ketukan, terdengar suara teriakan. Berbagai teriakan saling bercampur. Saling menindih. Teriakan dengan nada tinggi dan rendah, memohon, memelas, merintih. Membuat siapapun yang mendengarnya ngilu. Suara teriakan saat pembunuhan terjadi, belasan tahun yang lalu.

 

�TOLOOOONG!�

�JANGAN! JANGAN SUAMIKU! JANGAAAN!�

�BIARKAN AKU MASUK� AKU MOHON��

�TIDAK! JANGAN KELUARGAKU! TOLONGLAH! APAPUN ASAL JANGAN KELUARGAKU!�

�LEPASKAN DIA! JANGAN BERANI-BERANI MENYENTUHNYA!�

 

Di tengah suara teriakan, samar-samar terdengar suara langkah mendekat. Sebelum Hendy sempat menyadari apa yang terjadi, badannya menegang, matanya membelalak. Ia lantas berjalan keluar kamar dengan langkah kaku. Eric tidak menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ia segera melonggarkan ikatan tangannya hingga lepas. Ia lantas menggendong Sonia dan berlari keluar.

Di luar, ia melihat Hendy sedang menyiramkan bensin ke sekujur tubuhnya sendiri. Ada yang menggerakkan tubuh Hendy, entah apa. Atau mungkin tepatnya, entah siapa. Eric bergidik ngeri. Ia langsung berlari masuk kedalam rumah, mencari kunci mobilnya, lalu memasukkan Sonia dengan hati-hati ke kursi penumpang.

�AAAAAAAAAAAAAAAAARGH!!!!!!� suara jeritan memilukan terdengar menggema di tengah keheningan malam. Jeritan Hendy.

Eric buru-buru menyalakan mobilnya, lalu meninggalkan rumah Sonia. Di belakangnya, api menyala dan meretih. Membakar rumah keluarga Rural dan segala kenangan di dalamnya.

Eric menatap jalanan di depannya. Kengerian yang terjadi masih meninggalkan bekas di ingatannya. Matahari mulai terbit perlahan. Ia butuh istirahat. Istirahat yang panjang dan lama. Ia baru menyadari badannya bergetar hebat. Eric meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya baik-baik saja.

Ia menatap ke sebelahnya. Sonia belum juga sadar sejak tadi. Ia sudah melepaskan ikatan di tangan Sonia. Eric mengelus rambut Sonia perlahan, lalu kembali menatap jalan yang legang.

 

Sleep� let sleep tonight� and have a good dream�

don�t let mosquito bite,

don�t let nightmare to come�

sleep�

or I will come to you�

 

Eric membeku, ia menatap Sonia. Di sebelahnya, Sonia menatapnya dengan mata yang terbalik. Liur menetes dari bibirnya, dan urat-urat di lehernya menonjol.

Sonia tertawa. Tawa panjang dan lapar. Sonia dirasuki arwah pembunuh keluarganya. Sebelum Eric sempat berekasi, Sonia merebut setir, membuat mobil terbanting keluar jalur.

 

 

Sleep� let sleep tonight� and have a good dream�

 

don�t let mosquito bite,

 

don�t let nightmare to come�

 

sleep�

 

 

 

or I will come to you�

 

THE END

Minggu, 23 Agustus 2015

RURAL HOUSE: CHAPTER 4

 

RURAL  

By Andieta Octaria

  ***

Eric menatap ke sekitarnya. Ia masih berada di rumah Sonia. Namun ada yang berbeda.

Rumah ini semarak, dipenuhi perabotan dan sedikit berantakan. Ia seakan berada di rumah Sonia bertahun-tahun yang lalu. Ia menatap dinding. Saat ia kemari bersama Sonia, dinding dicat putih polos tanpa hiasan apapun. Meskipun ia tahu ia berada di rumah yang sama, namun suasananya sangat berbeda.

Dinding dicat coklat muda, dengan foto keluarga besar tergantung di ruang tamu. Dapur yang sebelumnya kosong, kini dipenuhi oleh perabotan. Kompor, piring, gelas, serta sebuah kulkas mungil dengan model yang sudah ketinggalan jaman. Pada bagian bawah dinding, terdapat coretan anak-anak yang dibuat dengan krayon. Dari jendela, ia bisa melihat sebuah sepeda roda tiga berwarna pink diparkir dengan berantakan. Segala benda yang berada di tempat ini terlihat ketinggalan jaman. Rumah ini terasa tua, namun juga berkesan hidup.

Eric menyusuri rumah tersebut. Ia mengintip kedalam kamar tempatnya menginap. Di dalamnya, ia melihat seorang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang masih kecil memejamkan mata kuat-kuat. Di sudut tempat tidur, seorang wanita muda duduk sambil mengelus kepala mereka lembut. Bibirnya bergerak-gerak, menyanyikan sebuah lagu yang membuat bulu kuduk Eric meremang.

Sleep�

let sleep tonight� and have a good dream�

don�t let mosquito bite, don�t let nightmare to come�

sleep� or I will come to you�

Eric membeku ketakutan. Tanpa sadar ia menginjak sebuah mainan kecil yang mengeluarkan suara lantang. Perempuan yang duduk di sudut ranjang langsung menoleh, menatapnya. Eric tak dapat bergerak. Namun wanita itu hanya melihatnya dengan tatapan kosong, seakan tak melihat apa-apa. Seakan pemuda itu kasat mata.

Wanita itu menyelesaikan nyanyiannya, lalu keluar dari kamar. Sebelum Eric sempat bersembunyi, wanita itu keluar, melewatinya.

Eric terkejut bukan main ketika wanita itu berjalan menembusnya.

Apa yang terjadi?

Eric mulai panik. Ia menatap kedua tangannya. Tangannya terlihat tembus pandang. Ia tak mengerti apa yang terjadi. Ia juga tak dapat mengingat mengapa ia bisa berada disini. Eric menatap wanita yang tadi bernyanyi. Pasti wanita tersebut adalah Arina, wanita yang membunuh keluarga Sonia.

Eric memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Ia berjalan hati-hati menuju tempat tidur. Di atas tempat tidur, ia melihat seorang gadis kecil dengan wajah mirip Sonia dan seorang anak laki-laki yang lebih kecil lagi sedang tertidur. Tiba-tiba, dia mendengar jendela diketuk. Jantung Eric berdebar kencang. Ia mengenal ketukan tersebut. Ketukan yang sama seperti yang ia dengar saat menginap.

Ketukan itu menbuat anak laki-laki yang telah tertidur terbangun. Ia melompat dari kasur lalu mencoba membuka jendela. Ia masih terlalu kecil untuk menggapai kunci jendela. Usahanya hanya membuat jendela bergetar semakin keras. Akhirnya gadis kecil yang berada di tempat tidur terbangun. Ia membantu adiknya membuka jendela. Eric melihat dari tempatnya seorang anak laki-laki masuk ke dalam kamar.

Ia menyadari, anak laki-laki tersebut adalah anak yang ia lihat beberapa jam yang lalu. Anak laki-laki yang mengetuk-ketuk jendelanya dengan wajah pucat dan leher yang mengucurkan darah. Namun, anak laki-laki di depannya bukan hantu. Anak laki-laki di depannya merupakan anak yang sehat tanpa luka di leher. Eric sadar, ia kembali ke masa lalu. Saat Sonia masih kecil dan keluarganya masih hidup.

Kakak Sonia pasti mengetuk jendela karena takut dimarahi bila masuk dari pintu depan. Ia pasti pulang terlalu malam karena terlalu asik bermain. Sementara, adik kecilnya yang berusaha membukakan jendela membuat jendela bergetar semakin hebat. Ketukan dan getaran di jendela yang Eric alami tadi malam pasti karena mereka berdua. Mungkin kakak dan adik Sonia tidak menyadari bila mereka telah meninggal.

Eric menatap tiga anak kecil di hadapannya dengan sedih. Ia tak bisa membayangkan kesedihan seperti apa yang dialami Sonia. Ia memutuskan untuk keluar dari kamar. Di luar, ia melihat bapak Sonia tengah menerima telefon. Rahangnya mengeras. Ia terlihat marah, atau kesal. Eric berjalan mendekat.

�Saya minta maaf bila saya mengecewakan bapak, tapi saya bisa berjanji hal ini tidak akan terjadi lagi. apa yang terjadi kemarin hanya kecelakaan. Ketiga anak saya masih kecil pak, bila bapak ingin mem-PHK saya, setidaknya beri saya satu bulan untuk mencari pekerjaan baru��

Suara itu terdengar putus asa. Dahinya berkerut dalam. Ia duduk dengan kaku. Ia mengerti sekarang mengapa orang tua Sonia menagih hutang pembantunya. Andai saja mereka tahu apa yang akan terjadi. Andai saja PHK itu tak pernah terjadi.

Eric meninggalkan ruang tamu, lalu mengintip ke kamar utama. Ia memutuskan untuk masuk.

�Kamu pasti teman Sonia.�

Eric terpaku di tempatnya. Bukankah seharusnya ia tak terlihat?

�Duduklah.�

Ia menatap ibu Sonia yang duduk dengan anggun di depan meja rias. Wajahnya tirus, persis seperti Sonia, hanya saja lebih tua.

�Saya mohon maaf telah lancang masuk ke kamar ini. Saya kira saya tidak terlihat.�

�Kamu memang tidak terlihat.�

Eric menatap wanita di depannya tidak mengerti,

�Terkadang, saya bisa melihat apa yang tidak dapat terlihat.�

Mereka berdua terdiam. Dalam hati, Eric bertanya-tanya apakah ibu Sonia bisa melihat masa depan? Apakah ia mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan meninggal?

�Saya tahu sebentar lagi saya akan meninggal. Namun ada hal-hal yang dapat kita ketahui namun bukan berarti dapat kita hentikan. Saya juga tahu kamu teman Sonia. Karena itu� saya minta tolong kamu untuk menjaga Sonia. Untuk menjaga Kia dan Kay, kakak dan adik Sonia.�

Eric tercekat. Ibu Sonia tidak mengatahui apa yang akan terjadi dengan keluarganya. Ia hanya mengetahui bahwa sebentar lagi ia akan meninggal.

�Saya akan berusaha untuk menjaga Sonia, tante��

�Maukah kamu berjanji? Apapun yang terjadi?�

�Saya janji.� Ibu Sonia tersenyum. Ia dapat melihat kedamaian dari matanya.

�Pulanglah. Sonia membutuhkanmu.�

�Tapi saya tidak tahu bagaimana cara untuk kembali ke masa kini!�

�Kau akan pulang saat tiba saatnya. Sekarang, tutup matamu.�

Eric menutup matanya,

�Sampaikan salam tante pada Sonia, tolong katakan padanya, ibu mencintainya.�

Suara wanita itu bergetar menahan tangis. Namun lalu hening. Ia tak dapat mendengar apapun. Kepalanya terasa berat dan pening. Bagian belakang kepalanya berdenyut. Eric membuka mata perlahan.

***

 

Handy mengelilingi rumah dengan hati-hati. Ia belum juga menemukan perempuan itu. Ia takut bila perempuan itu berlari ke kantor polisi atau melakukan hal bodoh lainnya yang dapat membuatnya kehilangan tempat tinggal. Ia menggenggam kayu di tangannya erat-erat. Sesungguhnya ia tak suka kekerasan. Bila bisa memilih, ia lebih menyukai membius perempuan itu sampai pingsan dengan sapu tangan yang telah diberi obat bius dibandingkan harus memukulnya. Lagipula, ibunya selalu mengajarkannya untuk lembut kepada wanita.

Ia berjalan mengendap-endap. Ia sudah memeriksa seluruh bagian rumah, hanya tinggal kamar mandi utama. Ia memegang kayu di tangannya erat-erat, siap-siap membuka pintu kamar mandi. Handy mendorong pintu kamar mandi perlahan lahan, lalu menatap ke dalam. Seketika, ia tercengang, tak pernah membayangkan apa yang akan ia lihat.

Di dalam kamar mandi, Sonia berdiri dengan posisi yang tidak wajar. Setengah badannya terpelintir menghadap belakang. Bibirnya mengeluarkan geraman-geraman kasar. Tubuhnya menegang. Handy bisa melihat urat di sekujur tubuh gadis itu menonjol, membuat tubuhnya dipenuhi guratan-guratan biru. Matanya terbelalak terbalik, menyisakan bagian putih yang dipenuhi urat-urat merah..

Mulutnya bergetar hebat, mengeluarkan busa putih di sekitar bibirnya. Rambutnya tergerai acak-acakan. Tangannya menggenggam tepi bak mandi erat-erat hingga ujung-ujung jarinya membiru dan kukunya memutih. Nafasnya tersenggal-senggal dari tenggorokan. Bajunya terkoyak dan di beberapa tempat ia melihat bekas cakaran. Sepertinya gadis itu mencakar dirinya sendiri.

Sonia dirasuki sesuatu. Entah apa. Handy bisa melihat bahwa gadis itu mati-matian melawan apapun yang ingin mengambil alih kuasa tubuhnya. Setiap kali gadis itu bergerak, gerakannya tiba-tiba berhenti, seakan Sonia melarangnya. Tubuh Sonia hanya menegang dengan posisi yang menyakitkan. Handy tak membuang-buang waktu. Ia melepaskan kayu dari tangannya, lalu mengambil sapu tangan dari sakunya dan segera membekap hidung dan mulut Sonia.

Gadis itu tak memberontak sedikitpun, namun perlahan-lahan tubuhnya melemas. Sebelum ia pingsan, mata Sonia berputar, lalu menatap Handy. Handy terperangah. Ia seakan mengenal tatapan itu. Tatapan yang selalu ia rindukan.

Tatapan ibunya.

 

TO BE CONTINUED

We visit the World Cultural Heritage "Hercules monument"

 Today we visit the "Hercules
Here is a short information:

Hercules is a copper statue depicting the ancient Greek demigod Heracles. The statue is located at the top of a Pyramid, which stands on top of the Octagon. Today "Hercules" refers not only to the statue, but the whole monument, including the Octagon and Pyramid. The monument is the highest point in the Bergpark Wilhelmsh�he. On 23 June 2013 the Mountainpark and the Hercules were proclaimed as world heritage site during the UNESCO meeting in Phnom Penh.


 We start our day behind the Hercules
 We decided to climb up on the octagon and the pyramid!
Up to the top it takes 305 steps 
The views is stunning 
  And so our new home town looks from above...
 This is the view from the highest window!
 
  The Hercules is made of very soft stone so it often has to be redeveloped.
  On the way down the Cascades we found this trumpet playing Faun.
  Every Wednesday and Sunday water games take place on the cascades in the Bergpark.
 Here many goldfish lives...
 Here ist the Hercules and the cascade in its full glory

We are convinced! Kassel is a beautiful city...

Rabu, 19 Agustus 2015

RURAL HOUSE: CHAPTER 3

 

RURAL  

By Andieta Octaria

  ***

Tanpa menggunakan kamera, ia tak dapat melihat apa-apa. Hanya kamar kosong seperti yang ditunjukkan Sonia sebelumnya. Namun melalui kamera handphone, ia dapat melihat sesuatu yang membuat perutnya bergejolak.

Di layar handphone, ia dapat melihat dinding kamar dipenuhi cipratan darah. Ia bisa membayangkan seseorang yang ditusuk berlari sepanjang kamar. Bersembunyi, ketakutan, dengan darah yang tak berhenti mengalir. Ia bisa membayangkan dengan jelas pembunuhnya pada akhirnya dapat mendobrak masuk, lalu mendorong korban ke dinding, menciptakan bercak dan genangan darah di lantai sekitarnya.

Eric menyorot kamera handphone Sonia ke sekeliling kamar. Tiba-tiba gerakannya terhenti. Di depan meja rias, sesosok wanita menatapnya lekat-lekat.

Wanita tersebut berlumuran darah. Di perutnya terdapat beberapa luka tusuk. Tubuhnya menggigil. Bibirnya yang pucat bergetar hebat. Eric terpaku. Sosok di depannya seakan ingin mengatakan sesuatu padanya. Tanpa Eric sadari, ia berjalan maju dengan perlahan. Sebelum ia sempat menyadari apa yang ia lakukan, sosok itu menerjang maju.

 

KYAAAAAAAK

Eric tertegun. Sosok itu membuka mulut, mengeluarkan suara tajam dan tinggi yang menyayat. Gerakannya berderak, seperti suara tulang yang patah. Saat bergerak, genangan darah membasahi lantai disekitarnya.

Eric berlari keluar kamar, lalu buru-buru bersembunyi di kamar sebelah, tempatnya tidur malam ini.

Ia mendorong kasur hingga melintang menutup pintu. Entah apakah hal ini dapat menghentikan makhluk yang berada di luar, namun ia butuh waktu untuk berpikir dengan logis. Ia meletakkan handphone Sonia, tak ingin melihat apapun yang tertangkap oleh kamera, lalu memejamkan mata.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang harus ia lakukan? Dimana Sonia? Ribuan pertanyaan menggantung tanpa jawaban di benaknya. Ia tak ingin lagi melihat sesuatu yang seharusnya tak menampakkan diri di depan manusia. Namun ia membutuhkan lampu flash dari HP Sonia. Dan menyalakan lampu flash berarti merekam. Dan merekam, membuat rasa ingin tahunya menggila dan pada akhirnya membuatnya menatap layar handphone.

Apapun yang terjadi diluar sana, apapun yang bisa dilihatnya, ia tak membutuhkannya saat ini. Ia butuh berpikir. Eric memejamkan matanya rapat-rapat, memikirkan jalan keluar. Berharap malam cepat berakhir atau setidaknya hari ini hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Atau ada pintu EXIT besar dengan neon hijau menyala terang yang dapat menyelamatkannya.

Ia bisa saja meninggalkan rumah ini. Mobilnya menyala dan ia memegang kuncinya. Namun ia tak ingin meninggalkan Sonia. Tetapi, menemukan Sonia dalam keadaan seperti ini sepertinya mustahil untuk dilakukan.

Pikirannya buntu. Nafasnya memburu.

 

Sleep�

let sleep tonight� and have a good dream�

don�t let mosquito bite,  don�t let nightmare to come�

sleep�

or I will come to you�

 

Eric terlonjak. Suara itu terdengar persis di telinganya. Belum hilang rasa terkejutnya, ia mendengar suara ketukan di jendela. Semakin lama semakin keras. Ia bahkan dapat merasakan jendela bergetar hebat.

�DRAK! DRAK! DRAAAAK!!!!�

Suara nyanyian terdengar semakin nyaring. Tak lagi menyerupai bisikan, nyanyian itu kini berubah menjadi teriakan keras dan nyaring yang memekakkan telinga.

 

SLEEP�

LET SLEEP TONIGHT� AND HAVE A GOOD DREAM�

DON�T LET MOSQUITO BITE, DON�T LET NIGHTMARE TO COME�

SLEEP�

OR I WILL COME TO YOU�

 

Ia cepat-cepat mendorong kasur yang menghalangi pintu, lalu segera keluar dari kamar. Ia segera dibalut oleh malam yang gelap gulita. Sebelum ia sempat mengambil HP Sonia untuk menyalakan lampu flash, seseorang mengendap-endap dari belakangnya.

Sebelum Eric sempat menyadari apa yang terjadi, kepalanya dipukul dari belakang, membuat Eric kehilangan kesadaran, lalu terjatuh pingsan.

***

 

Handy menatap pria di hadapannya dengan tatapan puas. Tangannya memainkan kayu plafon yang lapuk dan terjatuh dari tempatnya, yang kini menjadi senjatanya. Ia meraba dinding di sekitarnya, lalu menyalakan saklar lampu.

Ia mengenal tempat ini dengan sangat baik. Sudah beberapa tahun diam-diam ia tinggal di rumah ini. Ia hafal setiap lekuk rumah, letak stop kontak, saklar, hingga kebiasaan warga sekitar untuk membersihkan rumah ini setiap hari Jumat.

Ia menatap Eric dengan kebencian. Akhirnya hari ini tiba. Hari yang selalu ia nanti-nantikan.

Ibunya, Arina, di eksekusi mati karena pemilik rumah ini. Padahal hal tersebut bukan sepenuhnya salah ibunya. Saat itu ayahnya tiba-tiba kabur dari rumah, meninggalkan ibunya dan ia yang saat itu baru berusia sepuluh tahun. Di tengah kesulitan yang mereka hadapi, ia sakit keras, membuat ibunya terpaksa berhutang pada keluarga Sonia, keluarga Rural.

Namun lama kelamaan kehidupan mereka memburuk. Tak ada lagi sarapan pagi. Tak ada lagi makan tiga kali sehari. Di tengah semua kesulitan itu, keluarga Rural menagih hutang-hutang ibunya, tanpa mempedulikan kesulitan yang mereka alami. Di tengah kesulitan dan kebingungan, ibunya berubah kalap dan tanpa sengaja membunuh seluruh keluarga, kecuali Sonia yang saat itu tengah berkemah dan tak ada di rumah.

Setelah itu, mereka melarikan diri. Namun mereka terlalu ketakutan hingga akhirnya tak lama kemudian polisi berhasil menangkap ibunya, membuatnya hidup sebatang kara. Semenjak itu, ia hidup dari belas kasihan orang di sekitarnya. Ia tak memiliki siapapun ataupun tempat untuk tinggal. Hingga suatu hari, ia menyadari rumah ini tak lagi berpenghuni. Dan ia sungguh membutuhkan tempat untuk tinggal.

Awalnya, ia takut untuk tinggal di rumah ini. Bukan karena apa yang telah terjadi di tempat ini, melainkan pandangan warga terhadapnya, si anak pembunuh. Namun ia tak memiliki pilihan lain. Rumah ini bersih dan tak berpenghuni. Warga hanya mengunjunginya setiap hari Jumat untuk membersihkan rumah. Maka ia hanya butuh untuk menghindari rumah ini setiap hari Jumat, selain hari itu, ia aman. Lagipula tak ada yang berani mengecek kamar di bagian belakang, tempat pembunuhan pertama terjadi, sehingga tak ada yang pernah mengetahui keberadaannya.

Ia hanya butuh menyiapkan obat bius dan stun gun untuk berjaga-jaga, siapa tau ada yang mengetahui keberadaannya. Namun apa yang terjadi hari ini sungguh tak terduga. Seorang wanita datang ke rumah ini. Ia tak pernah mengetahui wajah anak yang lolos dari pembunuhan itu, namun ia tanpa sengaja mendengar percakapan Sonia dan Eric di ruang tamu. Dari situ ia mengetahui bahwa Sonia merupakan anak kecil yang dulu tak berhenti menangis berhari-hari setelah menemukan mayat anggota keluarganya.

Bila keluarga Rural tak pernah menagih hutang-hutang itu, pasti saat ini ia masih tinggal bersama ibunya.

Handy menyeret tubuh Eric yang pingsan kedalam kamar belakang, lalu mengikat Eric kuat-kuat ke sebuah kursi.

Tanpa ia sadari, Sonia menatapnya dalam kegelapan sambil menggeram.

 

TO BE CONTINUED

We talked to the HNA

It's been a few days ago... We were interviewed by a journalist from the a newspaper HNA.
We reported about the article on our Facebook page. Now we want to write about the interview here on our blog.
The reason why the HNA reported about us was that we always looking for new hosts.
We lived no longer in Stendal. Our Frind Johannes moved to Kassel and so we went with him. That was also a reason for us to talk with the local press. Thank you Ms. Nickoll for the nice report about us... Here is the article

Here Ms. Nickoll asked us a lot of questions about our journey. It was nice to talk with her. We hope to share with all of you her work...

Selasa, 18 Agustus 2015

RURAL HOUSE: CHAPTER 2

 

RURAL

By Andieta Octaria

  ***

Di hadapannya, terdapat informasi mengenai pembunuhan yang terjadi di rumah ini. Pembantu Sonia, yang meminjam uang lantas mengamuk ketika orang tua Sonia menagih uang tersebut. Ia langsung menghabisi bapak Sonia dengan pisau dapur. Tusukan-tusukan di tubuh bapak Sonia menciptakan cipratan darah di sekitar kamar pembantu, di bagian rumah. Karena takut aksinya diketahui, ia lantas membunuh ibu Sonia yang sedang berada di dalam rumah menggunakan pisau dapur yang sama.

Di sepanjang jalan menuju kedalam rumah terdapat tetesan darah dari pisau yang ia gunakan. Setelah membunuh ibu Sonia, saat akan melarikan diri, kakak dan adik Sonia pulang dari sekolah. Dengan panik, ia menikam mereka berdua tanpa ampun sebelum melarikan diri. Pembunuhan ini baru diketahui sehari kemudian, saat Sonia pulang dari perkemahan.

Tak berapa lama polisi menemukan Arina, lalu pengadilan menjatuhkan hukuman mati. Eric bergidik. Ia mulai merasa bahwa ide Sonia untuk menginap di rumah ini bukanlah ide yang bagus. Lagipula sejak awal kedatangannya ke rumah ini, ia merasa ada yang memperhatikannya.

Jangan konyol! Eric memaki dalam hati. Bukan saatnya untuk takut atau berfikiran macam-macam. Ia memaksakan matanya untuk terpejam. Ia tidak butuh takut, ia butuh istirahat.

Eric hampir tertidur ketika ia mendengar suara ketukan pelan di jendelanya. Mungkin suara angin. Hal tersebut biasa terjadi di rumah tua. Ia meneruskan tidurnya. Namun suara itu terdengar lagi.

Kali ini lebih jelas.

Eric bangkit dari tempat tidurnya, lalu berjalan menuju jendela. Ia menyibak gorden, lalu menatap keluar. Tidak ada apapun diluar. Eric memicingkan matanya. Kondisi di luar terlalu gelap. Ia tak bisa melihat apapun. Ia kembali menutup gorden, lalu kembali berusaha tidur.

 

Sleep� let sleep tonight�

and have a good dream�

don�t let mosquito bite, don�t let nightmare to come�

sleep�

or I will come to you�

 

Eric terbangun terengah-engah. Bajunya basah oleh keringat. Ia dapat mendengar lagu itu tepat di telinganya.

Lagu itu terlalu nyata. Lagu yang membuat Sonia murung dan akhirnya membuatnya berada di tempat ini.

Namun ia yakin itu bukan mimpi. Ia segera bangkit dari tempat tidur. Perasaannya mengatakan ada sesuatu yang salah. Eric cepat-cepat bergegas ke kamar Sonia, lalu mengetuk pintu. tak ada jawaban. Perasaannya semakin tak menentu. Ia mengetuk kembali, kali ini lebih keras. Masih tak ada jawab.

Eric cepat-cepat membuka pintu kamar, namun kamar itu telah kosong.

Ia segera berlari keluar, tanpa ia sadari, cermin meja rias memantulkan bayangan seorang wanita yang menatapnya tajam.

Eric memutari bagian dalam rumah, mengecek kamar dan kamar mandi, namun nihil, Sonia tak ada di manapun. Eric buru-buru menyalakan senter dari handphonenya, lalu menyusuri bagian luar rumah. Bagian luar rumah gelap gulita. Lampu teras tidak menyala, sementara jarak rumah ini dengan rumah tetangga tidak terlalu dekat. Eric mengarahkan senter handphone-nya ke sekitar rumah. ia melihat pintu yang dicat putih di bagian belakang rumah.

Sonia belum menunjukkan ruangan ini sebelumnya. Ia berjalan perlahan, tiba-tiba, perhatiannya teralihkan. Sebuah handphone tergeletak tak jauh di depan pintu. handphone milik Sonia. Jantung Eric berdebar kencang. Apa yang terjadi dengan Sonia? Ia buru-buru memasukkan telepon genggam Sonia ke dalam saku celananya, lalu mencoba membuka pintu. Tidak terkunci. Ia mendorong pintu perlahan-lahan.

Eric menatap ke dalam. Sebuah kamar; lebih kecil dibandingkan dua kamar di dalam rumah, hanya muat diisi sebuah tempat tidur kecil. Lampu di ruangan ini menyala, dan kasurnya tampak berantakan, seakan seseorang baru saja tidur di atasnya. Persis di tengah tempat tidur, Sonia duduk tegak, kepalanya menunduk.

�Sonia��

�Kamu seharusnya tidak ke tempat ini!� Sonia menggeram. Eric terkejut. Ia terlonjak hingga handphone-nya terjatuh. Ia tak mengenali suara itu, berat dan serak. Suara itu bernada mengancam.

�Sonia� mari pulang�� Eric perlahan berjalan mendekat, lalu dengan lembut menggandeng lengan Sonia. Sonia mendongak, lalu menatap Eric. Seketika, Eric berteriak.

Sonia membelalak, bola matanya seakan terbalik, menatap ke dalam, membuat kedua matanya terlihat putih tanpa pupil. Bibirnya mengeluarkan suara geraman, membuat urat di lehernya menonjol. Eric segera melepaskan pegangan tangannya dari Sonia, lalu berjalan mundur perlahan.

 

�KALIAN TIDAK SEHARUSNYA KE TEMPAT INI!�  

 

Bersamaan dengan suara geraman Sonia, tiba-tiba lampu mati, menjadikan malam semakin pekat. Jantung Eric berdegup cepat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Matanya tak dapat menatap apapun. Nafasnya tercekat.

 

�AAAAAAAAAAAAAAAAARGHHH!�

 

Tiba-tiba ia mendengar suara Sonia berteriak keras, menggema di kamar kecil tersebut, lalu badannya terjatuh. Sonia berlari menerjangnya, lalu menghilang d ikegelapan malam. Dalam kegelapan, Eric merangkak mundur, tangannya meraba-raba mencari handphone-nya yang terjatuh. Sia-sia.

Tiba-tiba, ia teringat handphone Sonia yang berada di dalam sakunya. Cepat-cepat, ia mengeluarkan handphone Sonia, lalu mencari aplikasi senter. Namun percuma, ia tidak terbiasa menggunakan handphone Sonia, ia tak tahu dimana letak aplikasi. Ia kembali memutar otak. Video! Ia tahu hp Sonia dapat mengeluarkan lampu flash saat merekam video.

Eric buru-buru menyalakan kamera hp Sonia, memasang flash handphone, lalu mulai merekam, membuat lampu flash terus menyala. Ia bangkit lalu tiba-tiba, ia mendengar suara ketukan di jendela. Eric mengarahkan HP Sonia ke arah suara, menerangi jendela tersebut. Namun tidak ada apa-apa. Tanpa sengaja, ia menatap layar HP Sonia. Seketika, tubuhnya membeku.

Di layar handphone Sonia, terekam seorang anak yang mengetuk jendela kamar. Ia menyadari kamar tersebut merupakan kamar tempatnya menginap.

Ia kembali menatap jendela. tak ada apa-apa. Anak tersebut hanya terlihat melalui kamera.

Tetapi bukan hanya itu yang membuatnya terpaku. Dalam kegelapan, ia dapat melihat anak tersebut dengan jelas. Anak tersebut sepucat kabut. Namun dari lehernya ia dapat melihat dengan jelas luka menganga yang mengalirkan darah kental ke seluruh tubuhnya.

Anak tersebut hanya menatapnya dalam diam, namun tangannya tak berhenti mengetuk jendela dengan ritme yang sama,

 

Tok tok tok tok

Eric terpaku. Namun ia berpikir cepat. Sonia! Ia harus menemukan gadis itu secepatnya! Ia segera berlari tanpa menoleh lagi ke jendela.

Eric berlari menyusuri bagian luar rumah sambil mengarahkan lampu flash HP Sonia ke bawah. Ia tercekat. Sepanjang jalan, ia melihat tetesan darah tertangkap kamera handphone Sonia. Namun tak ada darah sama sekali bila dilihat dengan mata telanjang.

Ia menemukan pintu rumah terbuka lebar. Pasti Sonia berada di dalam! Ia merasa sedang diperhatikan, namun entah oleh apa. Eric menyorotkan sinar flash ke dalam rumah. Seketika, ia terpaku. Ia menatap pada dinding yang putih bersih. Apa yang tertangkap di kamera menunjukkan hal yang berbeda. layar handphone Sonia menunjukkan dinding yang dipenuhi bercak darah memanjang hingga ke kamar utama.

Bulu kuduknya meremang. Ia berlari mengikuti jejak darah hingga ke kamar utama. Eric tak pernah menyangka apa yang dilihatnya di kamar utama.

 

TO BE CONTINUED

Minggu, 16 Agustus 2015

A day in Berlin


After travelling to Finland and Russia we did some sightseeing in Berlin before going home again. 
The city is huge and the best way to go around is by bike.
Jani was driving us around and showing us the typical tourist sights. 

 We started at the famous Alexander Platz / Alex with the huge TV-Tower, it is 368m high and the highest building in Germany.
  As impressing as the TV-Tower is the Brandenburg Gate.
There were so many people doing photo stops us included. It is in between the very beautiful street "Unter den Linden" and "Stra�e des 17. Juni",
 both street are very nice and it was lovely doing a walk there. Jani also showed us her work place, the "Haus der Kulturen der Welt". It was build in the late fiftys as a congress hall and nowadays it is used as cultural centre with concerts, exhibitions, cinema etc.
From there you also have a great view to the workplace of Angela Merkel our chancellor.
 We also got a glimpse on the impressing Berliner Dom
and the Rotes Rathaus,
the workplace of the Mayor of Berlin. At the end of the day we drove to her most-liked place in Berlin the Rummelsburger Bucht and we saw a fantastic sunset.
 In summary we really liked the city and Jani promised us when we are back here she will show us more of her favourite city in the world.

Sabtu, 15 Agustus 2015

RURAL HOUSE: CHAPTER 1

 

RURAL

By Andieta Octaria

 

Sambil menunggu serial Jeff X dipublish, simak dulu ya cerbung pendek berjudul �Rural House� ini. �Rural House� adalah cerbung pendek terbaru karya Andieta Octaria, mahasiswi Bandung yang hasil karyanya �Dream Catcher� juga pernah dimuat di blog. Menurut penulisnya, �Rural House� merupakan cerita yang diangkat dari kisah nyata mengenai pembunuhan yang terjadi di Indonesia. Untuk melindungi nama baik, maka nama dari tokoh dan korban di samarkan. Cerita ini akan terbagi dalam 5 part yang akan diupdate setiap 2 hari sekali. Feedback dari para pembaca semuanya sangat diharapkan!

Selamat membaca.

***

 

Eric menatap Sonia yang duduk membisu di sebelahnya. Sudah berjam-jam Sonia hanya menatap pemandangan di sekitarnya dalam diam. Sonia memang pendiam, namun Eric tahu, ada yang berbeda dari sikap Sonia hari ini.

Semua ini karena lagu sialan itu! Eric memaki dalam hati. Semua baik-baik saja sebelum mereka mendengar lagu itu.

Beberapa hari yang lalu, saat menjemput Sonia pulang kantor, di tengah kemacetan ibu kota, radio memutarkan sebuah lagu yang asing di telinga Eric. Namun tanpa disangka-sangka, lagu itu membuat Sonia bertingkah aneh. Sonia membesarkan volume radio, lalu mulai menangis.

�Kamu tahu lagu ini?�

Sonia hanya mengangguk, tanpa bisa berhenti menangis. Sepanjang jalan, Sonia tak berhenti menangis hingga mereka sampai ke apartemen Sonia. Ia juga tak menjelaskan apapun kepada Eric. Sonia hanya menangis hingga air matanya habis dan matanya membengkak. Namun ia tak menjelaskan sedikitpun apa yang membuatnya menangis.

Eric tak mendengar kabar dari Sonia keesokan harinya, ataupun dua hari kemudian. Semua pesan dan teleponnya tak berbalas. Bahkan ia sudah menghampiri apartemen Sonia langsung. Namun gadis itu seakan menghilang, membuat Eric panik bukan main. Untungnya di hari ketiga, Sonia menghubunginya. Gadis itu meminta Eric untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Tanpa pikir panjang Eric mengiyakan. Maka di sinilah mereka sekarang, menyisakan Sonia yang diam seribu bahasa dan Eric yang pegal luar biasa karena menyetir non-stop berjam-jam.

Eric menatap gadis di sebelahnya. Sejujurnya, tak banyak yang ia ketahui tentang Sonia. Mereka baru kenal beberapa bulan, namun Eric langsung jatuh cinta saat mengenalnya. Sonia yang manis dan pintar. Sonia yang pendiam dan membuatnya terlihat misterius. Ia tak mengetahui mengapa Sonia menangis begitu hebat mendengar lagu itu. Bahkan hingga kini, ia tak mengetahui lagu apa itu. Ia baru menyadari, tak banyak yang ia ketahui tentang Sonia.

Akhirnya, mereka sampai di sebuah rumah mungil dengan cat putih. Sonia turun, lalu membuka gembok garasi, mempersilahkan mobil Eric masuk. Sonia lantas membuka kunci rumah, lalu duduk di ruang tamu. Eric mengikuti Sonia perlahan, menatap rumah yang kosong.

�Ric��

�Ya?�

�Ada yang mau aku ceritakan.� Sonia menatap Eric lekat-lekat, memastikan pemuda di depannya mendengarkan, �Mungkin kamu belum tahu, aku yatim piatu. Saat aku berusia 12 tahun� keluargaku dibunuh. Saat itu aku sedang mengikuti perkemahan. Semuanya begitu tiba-tiba. Begitu tidak terduga. Saat aku pulang, hanya rumah ini yang tersisa.�

�Kami dulu memiliki pembantu. Arina. Ia masih muda. Bahkan aku masih bisa mengingatnya. Tubuhnya kurus, rambutnya keriting besar-besar. Ia beberapa kali meminjam uang pada papa. Aku tak pernah tahu berapa jumlahnya. Aku juga tak tahu berapa jumlah uang yang dipinjamnya. Namun suatu hari, saat papa menagih uang itu, tiba-tiba ia mengamuk.�

�Ia membunuh papa dan ibu. Ia lalu membunuh kakak dan adik ku yang baru pulang sekolah. Aku tidak pernah mengetahui dengan pasti mengapa. Aku juga tak pernah mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi hari itu. Namun saat aku pulang dari berkemah, tak ada yang membukakan pintu. Saat aku masuk ke dalam rumah, yang aku lihat keluargaku lengkap. Hanya saja mereka tak lagi bisa menyapaku.�

�Arina ditangkap tak lama kemudian. Yang kudengar, ia dihukum mati. Namun aku tak pernah tahu. Aku masih terlalu kecil saat itu.� Sonia menutup ceritanya. Tak ada emosi dalam suaranya. Bahkan ia terdengar datar. Seakan menceritakan cerita dari buku yang pernah ia baca, bukan kisah hidupnya.

Eric menelan ludah, tak tahu harus mengatakan apa. Ia menggenggam tangan Sonia, berusaha memahami gadis itu. Berusaha menguatkan. Sungguh, ia ingin hadir di masa lalu Sonia, memeluk Sonia kecil yang kehilangan keluarga. Hadir di saat terberat Sonia. Andai ia bisa memutar waktu. Andai ia tahu.

Diam-diam ia ingin Sonia menangis, atau melakukan apapun, agar ia dapat menenangkan gadis itu. Namun Sonia hanya duduk diam sambil menatapnya. Ia tak dapat menebak apa yang sedang di pikirkan oleh gadis itu. Ia ingin memahami Sonia, namun gadis itu tak memberikan celah untuknya. Mereka berdua terdiam.

�Maaf membawamu jauh-jauh ke tempat ini. Setelah kematian keluargaku, aku tinggal bersama nenek dan meninggalkan rumah ini. Seharusnya rumah ini tidak terurus. Namun dulu papa merupakan salah satu orang yang terpandang di desa ini. Aku dengar, warga tetap merawat rumah ini untuk menghormati mendiang papa.�

�Awalnya aku hanya ingin melihat tempat ini. Namun hari ini cukup melelahkan. Bagaimana bila kita menginap? Aku tidak ingin memaksa kamu untuk menyetir berjam-jam kembali ke Jakarta. Lagipula besok hari Sabtu. Kita bisa pulang pagi-pagi sekali bila kamu mau.�

Eric menyetujui ide itu. Badannya kaku setelah menyetir berjam-jam. Lagipula, mungkin menginap di rumah lamanya akan membuat Sonia kembali ceria. Sungguh, ia akan melakukan apapun untuk membuat Sonia bahagia. Sonia mengajaknya berkeliling rumah.

Rumah itu kecil. Hanya terdiri dari dua kamar dan satu kamar pembantu di bagian luar. Perabotan di rumah itu masih lengkap, meskipun hanya tinggal sedikit. Seluruh bagian rumah di cat putih, seakan diguyur cat. Dinding, pintu, jendela hingga kusen semua berwarna putih polos. Dapur rumah kosong melompong, tanpa kompor ataupun perabotan. Sementara ruang tamu hanya diisi sebuah sofa kumal.

Sonia lantas menunjukkan Eric kamar tidur. Kamar tidur utama hanya diisi tempat tidur dan sebuah meja rias kecil, sementara kamar tidur lainnya hanya berisi sebuah kasur. Eric mempersilahkan Sonia untuk tidur di kamar utama sementara ia tidur di kamar sisanya. Eric selalu membawa selimut di dalam mobilnya, maka ia menurunkan selimut dari mobil dan memberikannya pada Sonia.

Sonia tersenyum, senyum pertama yang ia lihat hari ini. Eric merasa bebannya berkurang setengah saat melihat Sonia tersenyum.

�Terimakasih Eric, selamat malam.�

Eric tersenyum, lalu masuk ke dalam kamar.

Di dalam kamar, diam-diam, Eric mengamati layar handphone-nya. Ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Ia mengetahui nama keluarga Sonia, maka diam-diam, ia memasukkan nama keluarga Sonia dalam google. Hanya membutuhkan waktu sepersekian detik hingga pencariannya membuahkan hasil.

Eric terpekik terkejut, perutnya bergejolak menahan mual, tak menyangka akan informasi yang ia dapatkan.

 

TO BE CONTINUED