Pada bulan Oktober, gue sempat jalan2 ke 3 pulau historis di kawasan Kepulauan Seribu, yakni Pulau Kelor, Pulau Cipir, dan Pulau Onrust. Gue menyebut pengalaman jalan2 gue ke Kepulauan Seribu ini sebagai �trip� bukan �backpacker� kayak biasanya. Alasannya, karena gue memakai jasa trip-organizer dalam perjalanan ini. Kalo backpacker kan gue harus mendesain diri segala detail dalam perjalanan gue, mulai dari itinerary, transport, hingga budget. Ini baru kali pertama gue menggunakan jasa perjalanan semacam ini. Keuntungannya selain mudah, juga murah meriah (mungkin karena yang ikut banyak kali ya jadi bisa menekan biaya). Tapi tentu saja �sense of adventure�-nya berkurang drastis. Mengapa gue memilih trip ke ketiga pulau ini? Bukan karena daya tarik pantainya sebenarnya (yang menjadi nilai plus trip kali ini), tapi nuansa sejarahnya yang sangat kental.
Pada akhir September, temen gue dari Madura yang sama2 punya blog backpacking mengajak gue ikut trip murah meriah ke Kepulauan Seribu. What a coincidence, pikir gue. Soalnya gue juga udah kepikiran mau menjadikan Kepulauan Seribu sebagai destinasi perjalanan gue berikutnya. Kita pun bersepakat ikut trip tanggal 4 Oktober. Sialnya, ternyata dia sendiri yang ngajak, tapi dia sendiri yang cancel trip kami (gara2 dia lupa kalo besoknya udah Idul Adha), sehingga gue terpaksa berangkat sendirian (udah ngidam abis sih, nggak bisa ditunda lagi hehehe).
Sekilas tentang trip organizer yang kami pakai jasanya ini, namanya adalah Rani Journey. Sepertinya temen gue itu pernah memakai jasa mereka saat trip ke Semeru dan Ranu Kumbolo. Dia cukup terkesan dengan pelayanan yang mereka berikan, sehingga dia juga nyaranin trip organizer ini ke gue. Mulanya sih gue nggak pernah tertarik ama event beginian. Soalnya gue pribadi lebih suka jika gue sendiri yang merancang perjalanan gue dan berpetualang sendiri (kadang nggak tau arah juga, tapi justru itu yang bikin seru). Ikut jalan2 bareng beginian mah nggak ada gregetnya dan nggak layak disebut backpackeran.
Namun tawaran kali ini cukup menggirukan. Gue inget dulu pas di Lampung, gue nyewa kapal seharga 150 ribu untuk berlayar dari mainland ke Pulau Pahawang. Nah, perjalanan dari Jakarta ke tiga pulau ini cuman dibanderol seharga 95 ribu rupiah saja! Bayangin guys, cepek aja kagak nyampe. Tentu aja gue nggak bisa ngelewatin kesempatan itu begitu aja. Pikiran gue, nyewa kapal emang enaknya rame2, soalnya berapapun penumpangnya, harga sewa per kapalnya akan tetap sama, jadi bisa di-share.
Rani Journey ini kayaknya udah lama berkecimpung di dunia trip organizer. Harganya pun murah meriah, apalagi buat kalian yang suka jalan2 tapi males kalo disuruh nyusun itinerary ama budget. Bayangin, perjalanan ke Lampung menyusuri berbagai pulau seperti Pahawang, Tanjung Putus, Pulau Gosong, Kelagian, Tegal, Pasir Timbul, dan snorkeling di Pulau Matitem dibanderol cuman 450 K aja (dengan catatan kumpul di Merak). Kalo gue berangkat sendiri, dengan budget segitu mungkin cuman dapet pantai2 di pesisir aja ama Pulau Pahawang-nya doang. Perjalanan lain yang ditawarkan Rani Journey ini seperti rafting di Green Canyon seharga 575 K, wisata Laskar pelangi ke Belitung seharga 850 K, ke Karakatau seharga 425 K, ke Bromo seharga 675 K, dan liat lumba2 di Teluk Kiluan, Lampung seharga 550 K. Kalo kalian tertarik, cek aja alamat facebook mereka.
Nah, sekian dulu buat mempromosiin Rani Journey-nya hehehe. Sekarang ke urusan jalan2nya. Nah, perjalanan kami dimulai di pelabuhan Muara Kamal. Sama Bang Ranu, pemimpin tim-nya (hmmm ... yang punya event organizer namanya Rani dan guide-nya namanya Ranu, curiga gua) kami disuruh kumpul jam 7 pagi di Masjid Nurul Bahar. Pertama kali sih gue bingung soalnya belum pernah denger pelabuhan Muara Kamal (taunya Titi Kamal hehehe). Namun setelah browsing2 , ternyata lokasi itu sangat mudah dicapai. Kita tinggal naik busway jurusan Kalideres lalu turun di halte Rawa Buaya. Dari situ tinggal jalan ke belokan arah Ramayana Cengkareng, dimana mobil2 Suzuki Carry berwarna hitam sudah menunggu penumpang untuk dibawa ke Muara Kamal. Itu transportasi umum kok, yah walaupun agak2 mencurigakan gitu (dari bau2nya sih ilegal). Tinggal naek mobil itu ke tujuan akhir Muara Kamal dan kalian akan diturunkan di pasar pelelangan ikannya (harga sekitar 7 ribu).
Ini suasana pelelangan ikannya. Yup, pastinya baunya dijamin AMIIIIIIIS.
Ini dia masjidnya dimana gue bertemu Bang Ranu bareng ama anggota tim yang lainnya.
Di kejauhan, gue melihat hutan bakau dan bangunan beratap khas Cina ini. Gue langsung menebak itu adalah Sekolah Buddha Tzu Chi. Berarti tempat ini deket banget dong ama Muara Angke yang pernah gue kunjungin terakhir kali gue ke Pantai Indah Kapuk?
Inilah suasana perkampungan nelayan di sini. Pastinya banyak sampah! Namun entah kenapa, melihat kayu2 yang menopang bangunan2 di sini ama kapal yang berwarna-warni, gue sempet mereguk sedikit suasana romantis di tempat ini.
Gue sempet penasaran, hmmm ... kita berangkatnya pake kapal apa ya? Apa pake kapal ini?
Atau ini?
Namun ternyata kapal yang akan kami pakai adalah ini ... jreng jreng jreng ....
Kalian harusnya denger suaranya pas kapalnya atang, �Drooook dok dok dok dok �� atau kadang2 bisa �Treeeek tek tek tek tek �.� Dan sialnya nggak ada pelampungnya. Mampus mana gue kagak bisa renang lagi. Tapi ya sudahlah, berdoa saja gue nggak kecebur di jalan.
Dan ini bagian dalam kapal. Ada lubang di dekat kemudinya. Gue jadi mikir, jalan2 ini kapal jalannya kayak mobilnya The Flinstones alias didayung pake kaki?
Setelah setengah jam perjalanan dengan kapal (di tengah lautan dengan sampah mengapung di atasnya), akhirnya kami sampai juga di Pulau Kelor. Ada pengalaman lucu nih pas kami tiba di Pulau Kelor. Bang Ranu kebetulan tiba duluan nih ama rombongan yang laen (jumlah peserta ada 40-an lebih jadi harus dipecah jadi dua kapal). Eh pas rombongan kami tiba, Bang Ranu malah ngitung jumlah kami, pas kagak dengan jumlah waktu kami berangkat dari Muara Kamal. Salah satu anggota tur nyeletuk, �Tenang Bang, nggak ada yang nyebur kok�. Hahaha ... iya sih tapi susah juga kalo malah ada yang nambah, jangan2 Annabelle ikutan lagi.
Pulau ini dinamai demikian karena ukurannya yang sangat mini, kata orang �seukuran daun kelor�. Namun walaupun kecil, pulau ini menyimpan kekayaan sejarah tak ternilai berupa benteng Martello. Sebenarnya pulau2 lain yang ada di gugus Kepulauan Seribu, seperti Pulau Bidadari dan Pulau Onrust juga dahulu memiliki benteng tersebut. Namun karena tergerus zaman , hingga kini hanya benteng Martello yang ada di Pulau Kelor inilah yang tersisa. Itupun tinggal puing2.
Benteng ini amat unik karena berbentuk lingkaran dan terbuat dari bata merah yang didatangkan langsung dari Belanda. Yaelah, kayak di Indonesia nggak ada batu bata aja. Konon benteng yang dibangun pada abad ke-17 ini terdiri atas 2 lapis benteng. Namun yang tersisa kini hanyalah bagian dalamnya, sedangkan dinding luarnya sudah menjadi puing-puing.
Bentuk benteng yang bundar ini ternyata sangat berguna untuk memanuver senjata 360 derajat, sehingga dapat menghadapi musuh dari arah manapun. Nama asli pulau ini sendiri adalah Kerkhoff yang berarti kuburan. Mungkin karena pada zaman belanda, pulau ini juga berfungsi sebagai kuburan.
Inilah reruntuhan batu bata merah benteng ini. Cukup dramatis ya.
Melihat bentuk tepi batunya, gue rasa batu2 ini dulu ditempelin nggak pake semen, tapi menggunakan kait sehingga tiap batu akan saling mengunci.
Di sekeliling pulau ini, dibangun pemecah karang untuk mencegah abrasi akibat terjangan ombak laut yang tak kenal ampun. Dengar2 pulau ini dulu tak terurus. Namun ketika gue berkunjung ke sana, sedang dibangun dinding sekeliling pulau beserta bangunan2 baru. Mungkin pulau ini akhirnya mendapat perhatian lebih dari Pemkot dan mulai dikelola secara layak.
Oya daya tarik lain pulau ini selainnya bentengnya yang artistik adalah pantai berpasir putihnya dengan air laut yang jernih. Hmmm ... ngeliatnya jadi kepengen nyebur deh. Namun gue harus tahan hasrat itu dulu, soalnya menurut Bang Ranu, acara cebur2an dan berenang bisa dilakuin di destinasi berikutnya, Pulau Cipir.
Nah sekian dulu tentang peninggalan bersejarah di pulau indah ini. Sayang, pulau kecil2 cabe rawit ini mendapat tantangan akibat abrasi. Diduga pulau ini akan tenggelam 45 tahun yang akan datang jika kondisinya masih tetap sama seperti sekarang. Dan tak ayal, jika itu terjadi, sejarah yang menaunginya juga akan ikut terbenam. Padahal benteng di pulau adalah monumen dimana fajar penderitaan panjang bangsa kita dimulai dan akhirnya menempa kita menjadi bangsa yang besar dan bersatu padu seperti sekarang ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar