Aku ingat naik ke sana. Rasa takutnya masih melekat jelas dalam ingatanku. Namun aku tak pernah membungkuk dan yang lebih penting lagi, aku tak ingat pernah memakan sisa-sisa makanan yang membusuk.
Namun melihat kaosku yang penuh kotoran, mereka dapat dengan mudah membuktikan apa yang mereka lihat. Bahkan di tanganku ada bekas sisa-sisa makanan itu.
Aku merasa hampir gila.
Takumi dan Shoji memandangku dengan khawatir.
�Kau tahu, jika sesuatu terjadi padamu, kau bisa berbicara dengan kami,� Takumi menawarkan, �Kamu tak sendirian sekarang. Ada kami!�
Walaupun dikuasai ketakutan, namun aku tak mau menanggung semuanya ini sendirian. Dengan perlahan kuceritakan pada mereka pengalamanku ketika aku naik ke atas. Mereka sesekali mengangguk mendengar ceritaku dan tampak sekali bahwa mereka menanggapi ceritaku ini dengan serius. Walaupun apa yang mereka lihat dan apa yang aku alami berbeda, namun mereka mendengarkanku dengan saksama hingga kisahku berakhir. Dukungan mereka membuatku tenang, bahkan aku hampir menangis dibuatnya.
Aku mengeluarkan desahan panjang dan merasakan untuk pertama kalinya, bahwa kakiku terasa aneh. Aku melihat ke bawah dan melihat luka-luka kecil di sepanjang lutut dan kakiku. Aneh, pikirku. Aku memicingkan pandanganku dan menemukan ada potongan-potongan kecil seperti serpihan plastik menempel pada luka-luka itu. Beberapa merah, sementara yang lain berwarna putih dengan noda hitam. Aku tak mampu mengalihkan pandanganku ada benda-benda itu.
�Apa itu?� tanya Shoji. Ia mengambil satu dan mengamatinya. Tiba-tiba ia berteriak dan melemparkannya ke lantai. Takumi dan aku terkejut atas reaksinya tersebut.
�Apa ada yang salah?� tanya Takumi.
�Lihat saja itu!� serunya. �A...apa itu kuku?� ia bertanya dengan nada ketakutan. Kami bertiga membeku saat itu juga.
Meskipun rasa takut tengah mencekamku, namun aku mencoba berpikir dengan tenang. Suara yang kudengar dari balik pintu, itu adalah suara kuku yang menggaruk. Itu masuk akal. Dan suara �Krak� yang sempat kudengar saat menaiki tangga, mungkinkah itu suara kakiku menginjak kuku-kuku ini?
Apakah kuku-kuku ini berasal dari apapun yang sedang menggaruk dari balik pintu itu?
Aku pasti terluka dengan potongan-potongan kuku ini saat aku berjongkok dan memakan makanan busuk itu di lantai.
Namun itu semua tak lagi penting. Aku tak bisa tinggal di sini lagi. Aku menatap Shoji dan Takumi.
�Aku tak bisa lagi bekerja di sini.�
�Aku tahu.� kata Takumi. Aku sempat terkejut meihat reaksinya. Ternyata ia juga merasakan apa yang kurasakan.
�Aku juga berpikir sama.� Shoji juga setuju.
�Aku akan mengatakannya pada Makiko-san besok.� kataku.
�Kau akan mengatakannya, tentang kamu mengendap-endap masuk ke lantai dua?� Takumi tampak terkejut.
�Aku harus. Ia begitu baik terhadapku selama ini, dan aku harus meminta maaf.�
�Tapi apa kamu tak khawatir tentang apa reaksinya jika kita mengatakan kau naik ke sana?� Shoji tampak cemas, �Ia pasti akan sangat marah.�
�Jangan bodoh! Aku harus mengatakan yang sebenarnya padanya. Semua itu tak penting lagi. Aku hanya ingin secepatnya keluar dari tempat ini!�
�Ya.� Takumi mengangguk, �Mungkin itulah yang terbaik.�
Malam itu, kami mengepaki barang-barang kami. Kami sadar bahwa kami terdengar sangat tak bertanggung jawab menelantarkan pekerjaan kami begitu saja, namun kami sangatlah takut. Kami semua tidur berdempetan malam itu, namun tak ada satupun dari kami yang benar-benar terlelap. Kami semua terjaga hingga pagi menjelang.
Salah satu alarm kami berbunyi dan memecah keheningan pagi itu. Hanya itu satu-satunya hal normal yang terjadi pada kami.
Pagi itu, Shoji tiba-tiba meminta maaf padaku.
�Maaf.� katanya. Ia selalu menjadi teman terbaikku dan aneh rasaya mendengar ia meminta maaf kepadaku. �Semua ini salahku. Saat itu aku tahu hal aneh terjadi padamu dan aku juga tahu kau sedang ketakutan, namun aku tak datang menolongmu. Maafkan aku ...�
Air mataku mulai menetes. Aku begitu bahagia mendengar bahwa ia begitu memperhatikanku sebagai teman.
Namun ada sesuatu yang ganjil. Ia tampak lebih ketakutan dari aku. Mengapa ia begitu ketakukan? Bukankah aku yang mengalami semuanya itu? Ia dan Takumi kan hanya melihat dari bawah? Apa aku membuat mereka takut? Apa ceritaku saat aku berada di atas yang membuat mereka takut?
Semula aku berpikir Shoji hanya tertular rasa takut itu dariku. Namun ternyata ketakutan Shoji menjadi nyata.
Ia hampir melompat ketika mendengar setiap suara keras yang terdengar dari kamar kami. Melihat dari caranya menatap luka-luka di sekujur kakiku, mudah mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah dengannya.
Takumi menatap Shoji dengan cemas.
�Hei, apa kau baik-baik saja?� Takumi memegang kedua bahunya, �Apa ini gara-gara kau kurang tidur semalam?�
�Diamlah!� tiba-tiba Shoji berteriak dan segera mendorong tangan Takumi.
�Apa yang terjadi denganmu?� seruku. Takumi terlalu terkejut untuk mengatakan sesuatu.
�Apa aku baik-baik saja? Bagaimana mungkin aku baik-baik saja?� ia menatap Takumi dengan tajam saat ia mengatakannya, �Aku pikir aku dan Yuuki akan mati kemarin! Jangan bertingkah seolah-olah kau peduli pada kami! Kau bahkan tak tahu apa yang terjadi!�
Apa yang ia katakan? Aku tak mengerti. Shoji berpikir ia akan mati? Ia tak mungkin berbicara tentang hal-hal yang kualami kemarin.
Takumi dan Shoji merupakan teman dekat walaupun aku tahu Takumi punya kecenderungan untuk membuat kesal teman-temannya. Namun sejauh ini, Shoji tak pernah marah dengan Takumi. Aku juga tak pernah melihat Shoji berteriak pada Takumi seperti itu. Dan menilai dari reaksi Takumi, ini adalah kali pertama hal seperti ini terjadi. Ia terlihat sedih akibat kejadian itu.
�Kau berpikir kau akan mati?� tanyaku, �Tapi selama itu kau selalu berada di bawah tangga ...�
�Aku...aku melihat semuanya dari bawah tangga ...�
Ia terdiam selama beberapa saat. Selama ini aku mengira ia sedang melihat ke arahku saat kami berbicara, namun kemudian aku menyadarinya. Ia sedang melihat ke arah belakang punggungku.
�Dan aku masih melihatnya sekarang ...�
TO BE CONTINUED
Tidak ada komentar:
Posting Komentar